Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah disarankan menerapkan pajak orang super kaya dan windfall profit tax atau pajak 'rezeki nomplok' untuk mengerek penerimaan negara, daripada menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun depan.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan menjelaskan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) akan lebih banyak membawa mudarat daripada maslahat ke perekonomian, terutama pada saat terjadi penurunan daya beli masyarakat seperti belakangan ini.
Dia menjelaskan PPN merupakan pajak yang sifatnya berdampak ke seluruh lapisan masyarakat dari kelas bawah, menengah, hingga atas. Oleh sebab itu, saat beresiko menaikkan tarif PPN ketika ekonomi sedang lesu.
Fadhil tidak menampik bahwa pemerintah perlu mendapatkan lebih banyak penerimaan negara untuk biayai berbagai program ambisius pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto.
Alumnus Iowa State University ini pun menyarankan akan lebih baik apabila pemerintah memajaki kelompok masyarakat tertentu untuk menaikkan pendapatan negara. Dalam konteks saat ini, masyarakat yang tidak terlalu terdampak adalah kelas atas.
"Yang super rich [super kaya] itu, itu harus ditingkatkan karena ada masalah keadilan juga di sini. Juga kalau misalnya kalau super rich ini ditingkatkan pajaknya, itu tidak akan memberikan dampak [negatif] ke perekonomian secara keseluruhan," katanya dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Selain itu, dia juga menyarankan penerapan pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax). Secara sederhana, Fadhil mengibaratkan windfall profit tax sebagai pajak 'rezeki nomplok'.
Dia menjelaskan windfall profit tax sebagai pajak yang dikenakan kepada industri yang mendapat keuntungan yang berlebih tanpa mereka melakukan usaha-usaha tertentu.
Contohnya, ketika secara mendadak harga komoditas minyak bumi atau baru bara meningkatkan karena gejolak geopolitik. Otomatis, sambungnya, profit industri dalam negerinya yang terkait sektor minyak atau batu bara akan meningkat.
Hanya saja, keuntungan tersebut diraih tanpa ada upaya yang dilakukan secara mandiri oleh industri yang bersangkutan namun misalnya lebih karena ada situasi geopolitik yang memanas seperti perang di negara-negara produsen minyak bumi.
"Ini kan sebenarnya mereka kejatuhan, kedapatan keuntungan tanpa usaha apapun itu, rezeki nomplok. Ya, harusnya mereka juga dikenakan tambahan pajak, wajar-wajar saja," jelas Fadhil.
Sementara itu, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal bahwa tidak akan ada penundaan implementasi kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Dia menegaskan Pasal 7 ayat (1) UU No. 7/2021 sudah mengamanatkan bahwa PPN harus naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
"Kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR pada Rabu (13/11/2024).