Bisnis.com, JAKARTA – Program penyediaan 3 juta unit rumah per tahun yang diusung Presiden Prabowo Subianto bisa dibilang sebagai proyek yang ambisius. Namun, manfaat berganda program ini bagi perekonomian nasional bisa dikatakan cukup sepadan.
Perlu diketahui, ada 184 sektor usaha terkait yang kecipratan untung apabila bisnis industri properti moncer. Tak hanya itu, belanja yang dikeluarkan dapat mendongrak perputaran uang di dalam negeri karena tingkat komponen dalam negeri (TKDN) industri ini mencapai 100%. Alias tanpa impor.
Dengan kata lain, di atas kertas program pengadaan 3 juta rumah per tahun yang diusung Prabowo adalah win-win solution bagi semua pihak. Mulai dari negara, masyarakat, hingga swasta.
Namun, dalam praktiknya, pemerintah tidak boleh naif. Sebab, bagaimanapun program ini adalah langkah radikal yang tak luput dari berbagai tantangan.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya mengatakan ada beberapa aspek yang berpotensi menghadirkan tantangan sehingga patut dijadikan concern. Pertama, aspek lahan.
“Problem utamanya, lahan sitaan itu posisinya seringkali bukan di area pengembangan. Jangan lupa, yang dilihat bukan hanya aspek fisik rumahnya. Tapi juga aspek integrasi yang mencakup akses transportasi, sekolah, tempat rekreasi, dan fasilitas lingkungan lain,” kata Bambang kepada Bisnis baru-baru ini.
Baca Juga
Dia khawatir lahan sitaan seluas 1,3 juta hektare yang digadang-gadang bakal dimanfaatkan, diserahkan dalam kondisi scattered alias berserakan sehingga tidak memungkinkan para pengembang untuk melakukan pembangunan secara terintegrasi.
Jangan sampai, sambungnya, penyediaan rumah tidak dibarengi dengan fasilitas yang memadai. Belum lagi, ihwal asal muasal lahan yang bersumber dari barang milik negara (BMN) berupa tanah sitaan juga memicu kekhawatiran akan perkara legalitas. Bambang meminta negara benar-benar menjamin legalitas lahan yang disediakan guna menghindari sengketa.
“Legalitasnya, harus bisa dipertanggungjawabkan atau diatur supaya semuanya clean and clear. Jangan sampai di tengah jalan sudah dibangun ternyata masih ada sengketa yang menyebabkan pembangunannya menjadi mandeg,” kata dia.
Terkait dengan hal ini, Bambang berharap Kementerian Perumahan sanggup mengkoordinir instansi-instansi lain. Khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pengampu langsung dalam urusan penyediaan lahan.
Kedua, aspek bujet. Ketek bengek ihwal lahan dikatakan mewakili sekitar 30% - 40% dari total anggaran yang diperlukan dalam konstruksi perumahan. Artinya, jelas Bambang, masih ada 60% sisa keperluan bujet untuk urusan perizinan, konstruksi, pemasaran, dll.
“Dengan kata lain, urusan tanah itu memang masalah utama. Tapi, selalu di ujungnya yang juga menjadi persoalan utama adalah perihal pembiayaan,” ujarnya.
Menyangkut hal ini, dia menakar anggaran yang diperlukan untuk melancarkan program 3 juta rumah per tahun berkisar di angka Rp300 triliun. Dengan perhitungan mentah alokasi anggaran pembangunan per unit senilai Rp100 juta.