Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Disentil JK, Bahlil Akui Mayoritas Cuan Hilirisasi Nikel Lari ke Asing

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengakui industri pengolahan nikel 85% masih dikuasai asing.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberikan sambutan saat acara serah terima jabatan di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (19/8/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memberikan sambutan saat acara serah terima jabatan di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (19/8/2024). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku pernah diperingatkan oleh Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) terkait hilirisasi nikel. 

Bahlil disentil lantara terlalu menggembar-gemborkan kehebatan hilirisasi nikel. Padahal, keuntungannya lebih banyak lari ke luar negeri.

"Saya pernah disentil oleh Pak JK. 'Lil, itu investasi nikel itu jangan dibesarkan-besarkan. Karena yang dapat untung banyak kan bukan dalam negeri, luar negeri, nilai tambahnya itu luar negeri'," kata Bahlil di Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Bahlil lantas menjelaskan bahwa izin tambang saat ini 85% hingga 90% masih dikuasai pengusaha dalam negeri. Pengusaha ini termasuk perusahaan pelat merah alias badan usaha milik negara (BUMN).

Kendati, ketua umum Golkar itu mengakui bahwa untuk industri pengolahan nikel 85% masih dikuasai asing. Menurutnya, hal ini terjadi lantaran untuk terjun ke industri pengolahan pengusaha butuh modal besar.

Dia menjelaskan bank lokal memang menawarkan kredit investasi untuk industri pengolahan nikel. Namun, bank lokal mensyaratkan pengusaha harus memiliki ekuitas 30% hingga 40%.

Bahlil berpendapat para pengusaha lokal kesulitan memenuhi persyaratan tersebut. Oleh karena itu, pengusaha memiliki pilihan untuk meminjam modal ke bank luar negeri.

Meski begitu, ketika mendapat kredit investasi dari bank luar negeri, pengusaha dibebankan kewajiban membayar pinjaman pokok dan bunga. Untuk membayar itu, pengusaha membayar dari pendapatan ekspor. Nilainya bisa mencapai 60% dari pendapatan.

"Jadi, apa yang saya bilang oleh Pak JK, itu benar, 60% DHE [devisa hasil ekspor] kembali ke sana [luar negeri] dari hasil industri. Tetapi itu terjadi karena memang membiayai pokok tambah bunga," terang Bahlil.

Ia pun mengaku memiliki jurus untuk mengatasi hal tersebut. Solusinya, perbankan dalam negeri khususnya himpunan bank milik negara (Himbara) ikut membantu pembiayaan dengan syarat ekuitas rendah. Namun, hal itu tak gampang. Menurut Bahlil, presiden pun tak punya wewenang untuk mengintervensi hal tersebut.

"Nah, di sini juga dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, perbankan, dan sektor usaha. Untuk apa? Menuju kepada kedaulatan bangsa kita," tutup Bahlil. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper