Bisnis.com, JAKARTA — Presiden terpilih Prabowo Subianto harus langsung mengambil langkah cepat dalam memperkuat perekonomian pada hari-hari pertamanya menjabat karena saat ini terdapat sejumlah sinyal tekanan bagi pertumbuhan ekonomi.
Sebut saja deflasi lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024—yang menjadi catatan terparah sejak 1999, Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur yang masuk zona kontraksi, hingga terbaru indeks keyakinan konsumen (IKK) yang turun, menjadi sorotan menjelang pelantikan presiden baru.
Sejumlah ekonom dan analis menilai bahwa indikator-indikator itu menjadi sinyal adanya tekanan ekonomi Tanah Air, baik karena efek eksternal maupun kondisi domestik. Tekanan itu perlu segera diatasi oleh pemerintahan Prabowo ketika menduduki kursi RI 1.
Terlebih, Prabowo memiliki cita-cita sangat besar, yakni pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8% (sesuatu yang bahkan tidak bisa dicapai oleh Presiden Joko Widodo, yang mematok target pertumbuhan ekonomi 7%). Prabowo perlu mengambil langkah cepat karena pada tahun pertamanya menjabat, sudah terdapat risiko pertumbuhan ekonomi tidak sesuai target.
World Bank (Bank Dunia) memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 akan mencapai 5%. Hal itu tercantum dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024 yang rilis beberapa hari lalu.
Bank Dunia memang menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,9% (berdasarkan laporan April 2024) menjadi 5%. Namun, angka itu tetap masih di bawah target pertumbuhan ekonomi 2024 pemerintah, yakni 5,2%.
Baca Juga
Bank Dunia menilai bahwa Indonesia akan terus tumbuh dengan naiknya konsumsi dalam negeri, pulihnya ekspor barang, dan kembali bergairahnya sektor pariwisata. Namun, prospek positif itu masih dibayangi risiko perlambatan.
"Di antara negara-negara besar [di Asia Timur dan Pasifik], pada tahun 2024 dan 2025 hanya Indonesia yang diperkirakan bertumbuh setara atau di atas tingkat pertumbuhan sebelum pandemi," tertulis dalam keterangan resmi Bank Dunia, dikutip pada Rabu (9/10/2024).
Adapun, Bank Dunia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 akan mencapai 5,1%. Angkanya pun masih di bawah target pemerintah.
Asian Development Bank (ADB) juga menyampaikan pandangan serupa melalui laporan Asian Development Outlook (ADO) September 2024. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 dan 2025 diperkirakan tetap di 5,0%.
Proyeksi 5,0% untuk Indonesia itu sejalan dengan kenaikan prospek ekonomi negara-negara berkembang di Asia Pasifik. ADB menilai bahwa turunnya harga pangan global, juga efek pelonggaran kebijakan moneter bisa membawa inflasi ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.
"Kondisi keuangan diperkirakan akan membaik seiring makin redanya inflasi dan dilonggarkannya kebijakan moneter di Amerika Serikat, sehingga mendukung proyeksi positif bagi kawasan ini," ujar Kepala Ekonom ADB Albert Park.
Namun demikian, menurut ADB, risiko dari proyeksi tersebut di antaranya memburuknya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dengan China, semakin merosotnya pasar properti China, ketegangan geopolitik yang memburuk, serta efek perubahan iklim dan cuaca buruk terhadap harga komoditas serta ketahanan pangan dan energi.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) juga memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 adalah 5,06%. Lalu, pada 2025 terjadi perbaikan tetapi hanya mencapai kisaran 5,18%.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5% cukup baik jika dibandingkan negara-negara lain. Namun, apabila pemerintah membidik ingin keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi lagi.
"Ini relatif cukup dibandingkan dengan negara-negara lain, tapi untuk berdampak kepada pengentasan kemiskinan dan keluar dari middle-income trap pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan," ujar Andry.
Risiko Efek Rambatan Tekanan Ekonomi China
Bank Dunia telah menyampaikan lampu kuning ekonomi China yang bisa berdampak pada prospek perekonomian wilayah Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Ekonomi China diperkirakan semakin melemah hingga 2025, oleh karena itu patut diwaspadai.
Dilansir dari Bloomberg, ekonomi China diperkirakan melemah meskipun pemerintah memberikan stimulus baru-baru ini, tetap memberikan tekanan ekstra pada ekonomi regional.
Ekspansi China diprediksi turun menjadi 4,3% tahun depan dari perkiraan 4,8% pada tahun 2024.
"Akibatnya, pertumbuhan di Asia Timur dan Pasifik—yang mencakup negara-negara seperti Indonesia, Australia dan Korea—akan melambat menjadi 4,4% di tahun 2025 dari sekitar 4,8% tahun ini," tulis Bank Dunia, dikutip dari Bloomberg pada Selasa (8/10/2024).
Selama tiga dekade, pertumbuhan China telah memberikan keuntungan bagi negara-negara tetangganya, tetapi ukuran dorongan tersebut sekarang berkurang sejalan dengan pelemahan ekonomi negeri tersebut.
"Dukungan fiskal yang baru-baru ini disinyalir dapat meningkatkan pertumbuhan jangka pendek, namun pertumbuhan jangka panjang akan bergantung pada reformasi struktural yang lebih dalam," lanjut Bank Dunia.
Selain melambatnya pertumbuhan di China, Bank Dunia menyoroti pergeseran arus perdagangan dan investasi, bersamaan dengan meningkatnya ketidakpastian kebijakan global, juga dapat mempengaruhi kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Meskipun ketegangan perdagangan Amerika Serikat (AS)-China telah menciptakan peluang bagi negara-negara seperti Vietnam untuk memainkan peran dalam menghubungkan mitra-mitra dagang utama, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa ekonomi mungkin semakin terbatas untuk memainkan peran ‘penghubung satu arah’ karena peraturan-peraturan baru yang lebih ketat mengenai impor dan pembatasan ekspor diberlakukan.
Dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024, Bank Dunia menyoroti tiga faktor yang diperkirakan memengaruhi pertumbuhan di kawasan ini. Mulai dari bergesernya perdagangan dan investasi, melambatnya pertumbuhan di China, serta meningkatnya ketidakpastian kebijakan dunia.
The ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menilai terdapat beberapa risiko yang akan mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi Asean+3 di sisa 2024 dan sepanjang 2025 mendatang. Asean+3 merupakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara serta China, Jepang, dan Korea Selatan.
Chief Economist AMRO Hoe Ee Khor menuturkan bahwa risiko pertama adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. data pasar tenaga kerja AS pada Juli dan indeks PMI manufaktur Agustus yang lebih lemah dari perkiraan telah memicu kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan AS.
"Hal ini berpotensi membebani pemulihan tingkat ekspor," kata Khor.
Sementara itu, pemulihan ekonomi di Eropa yang rapuh menghadapi risiko eskalasi ketegangan perdagangan global dan kemungkinan lonjakan biaya energi serta pengangkutan karena konflik geopolitik.
Selanjutnya, penyesuaian yang berlarut-larut di sektor properti dapat menghambat pertumbuhan ekonomi China. Khor menuturkan, jika tren pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat berlanjut di China, dampak di kawasan Asean akan terasa melalui nilai perdagangan, investasi, serta pariwisata yang lebih rendah.
Volatilitas pasar finansial juga perlu dicermati oleh negara-negara kawasan Asean+3. Khor menuturkan, kondisi penyesuaian pasar yang tajam namun berumur pendek itu sempat terjadi pada Agustus 2024 lalu yang menjadi pengingat akan risiko lonjakan lebih lanjut di pasar keuangan.
Ke depan, dia mengatakan ketidakpastian seputar prospek kebijakan moneter AS pemilihan presiden mendatang, dan potensi pelepasan posisi keuangan lebih lanjut dapat mempengaruhi pasar dan meningkatkan tekanan di pasar keuangan.
Selain itu, meningkatnya harga komoditas dan biaya angkut global juga akan mempengaruhi negara-negara di kawasan Asean+3. Khor menurutkan, siklus cuaca La Niña yang tidak dapat diprediksi dapat mengganggu pasokan pangan, sementara tensi geopolitik dapat berimbas pada meningkatnya harga energi dan biaya logistik.
Selanjutnya, pemilihan presiden AS pada November mendatang juga akan berdampak pada negara-negara di kawasan lain, termasuk Asean+3, terutama jika hasil tersebut bermuara pada meningkatnya tensi perang dagang AS-China.
"Peningkatan tarif bisa secara substansial menghambat prospek pertumbuhan regional pada tingkat yang berbeda-beda, tergantung pada besarannya. Dalam proyeksi kami, skenario terburuk dengan peningkatan tarif yang tinggi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi Asean+3 hingga hampir 1%," ujarnya.