Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mewanti-wanti bahwa perekonomian sedang tidak baik-baik saja, ditandai dengan penurunan daya beli masyarakat dan Purchase Managers' Index (PMI) Manufaktur yang terus alami kontraksi.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menjelaskan, penurunan daya beli dan PMI manufaktur yang terkontraksi terlihat dari deflasi yang terjadi selama lima bulan terakhir yaitu pada Mei—September 2024
Ajib pun mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sebut fenomena deflasi tersebut perlu dikaji secara mendalam, juga pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sebut deflasi merupakan sinyal baik bagi perekonomian.
"Presiden cenderung berpendapat normatif, sedangkan Menteri Keuangan cenderung berpendapat yang debatable [dapat diperdebatkan]," ujar Ajib dalam keterangannya, Senin (7/10/2024).
Dia meyakini, deflasi tidak boleh dilihat dari satu sisi saja. Menurutnya, deflasi harus dilihat sisi demand (permintaan) dan sisi supply (penawaran) sekaligus sehingga bisa terlihat kesimpulan yang lebih komprehensif.
Dari sisi demand, indikator-indikator ekonomi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang menurun. Dia mencontohkan, data menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah dan Ditjen Pajak juga merilis bahwa pajak kelas menengah terus mengalami penurunan, hanya sekitar 1% dari penerimaan pajak secara agregat.
Baca Juga
Sedangkan dari sisi supply, PMI menjadi gambaran kondisi bisnis di sektor produksi barang. PMI terus mengalami penurunan sejak April lalu, bahkan PMI terus mengalami kontraksi yaitu di bawah 50 sejak Juli.
"Daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga," jelas Ajib.
Oleh sebab itu, dia merekomendasikan tiga prioritas kebijakan. Pertama, kebijakan fiskal mengkaji ulang kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tanggal 1 Januari 2025 agar tak membebani masyarakat luas.
Kedua, kebijakan moneter dengan penurunan kembali tingkat suku bunga acuan. Menurut Ajib, dunia usaha berharap Bank Indonesia kembali menurun suku bunga acuan sebesar 35 basis poin pada kuartal IV/2024.
"Dengan tingkat suku bunga acuan di bawah 6%, potensi likuiditas akan lebih banyak mengalir di sistem perekonomian indonesia, dan daya beli masyarakat akan mengalami kenaikan ketika kemudian perbankan juga mengikuti dengan menurunkan suku bunga kreditnya," katanya.
Ketiga, kebijakan investasi yang padat karya sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Ajib menekankan, penyediaan lapangan kerja yang masif menjadi prasyarat agar pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh signifikan di masa mendatang.
Dia menyimpulkan, pemerintah harus memanfaatkan momen Pilkada 2024 pada kuartal IV/2024 ini untuk mendongkrak daya beli secara umum. Menurutnya, perputaran uang selama Pilkada 2024 akan langsung mengalir di masyarakat dalam bentuk barang maupun uang.
"Secara umum, kondisi perekonomian tahun 2024 kuartal keempat menjadi momentum pertumbuhan ekonomi lebih agresif dengan momentum pilkada serentak ini sehingga target asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2024 yang mematok target pertumbuhan ekonomi 5,2% secara agregat bisa tercapai," tutup Ajib.