Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pesan Industri Tembakau ke Pemerintah Meski Cukai Tak Naik

Pelaku industri tembakau berharap pemerintah berhati-hati dalam menetapkan kebijakan kenaikan cukai di masa mendatang.
Petani mengangkat tembakau yang telah dijemur di Desa Banyuresmi, Sukasari, Kabupaten Sumedang, Senin (20/6/2022). Bisnis/Rachman
Petani mengangkat tembakau yang telah dijemur di Desa Banyuresmi, Sukasari, Kabupaten Sumedang, Senin (20/6/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri tembakau berharap pemerintah berhati-hati dalam menetapkan kebijakan kenaikan cukai usai Cukai Hasil Tembakau (CHT) tak naik pada 2025.

Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Seluruh Indonesia (MPSI), Sriyadi Purnomo, mengatakan kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai pada 2025 merupakan langkah tepat di tengah berbagai tekanan yang sedang dialami industri tembakau.

Dia berpendapat kebijakan ini dapat memberikan ruang bagi industri tembakau untuk bertahan, khususnya bagi sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang padat karya dan menyerap banyak tenaga kerja di berbagai daerah.

“Tidak ada kenaikan CHT pada 2025 merupakan keputusan yang tepat karena pemerintah telah peduli dan mempertimbangkan dinamika industri tembakau yang saat ini masih tertekan,” kata Sriyadi dalam keterangannya, Rabu (2/10/2024).

Akan tetapi, dia khawatir bakal ada risiko kenaikan cukai yang drastis pada 2026. Kondisi tersebut seperti kenaikan cukai secara signifikan yang terjadi pada 2020.

Sriyadi berharap pemerintah lebih bijaksana dalam menentukan kebijakan CHT di tahun-tahun berikutnya, mengingat kenaikan tarif yang berlebihan akan sangat merugikan industri.

Menurutnya, lonjakan cukai yang tiba-tiba seperti itu, berisiko mengancam kepastian usaha industri tembakau, termasuk berdampak langsung pada nasib jutaan tenaga kerja.

Sriyadi juga menyoroti industri tembakau tengah mengalami tekanan dari regulasi lain seperti Rancangan Permenkes (Rancangan Permenkes) dan Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024, yang mencakup aturan kemasan rokok polos tanpa merek, pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter, serta larangan iklan rokok.

Sejumlah regulasi tersebut dinilai tidak hanya akan menyulitkan dari sisi pemasaran dan penjualan, tetapi juga memperparah peredaran rokok ilegal karena sulit membedakan produk legal dari ilegal. Kebijakan ini justru mendorong pertumbuhan rokok ilegal yang lebih murah dibandingkan rokok legal, yang akhirnya merugikan produsen rokok legal yang mengikuti aturan.

Sriyadi berharap agar pemerintah baru lebih memberikan perhatian terhadap keseluruhan ekosistem industri tembakau dari hulu ke hilir.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper