Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR telah menyepakati Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dengan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Namun, jika kita telusuri lebih jauh, postur APBN 2025 masih menempatkan stabilitas makro ekonomi sebagai prioritas utama, mengabaikan kebutuhan mendesak untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih merata.
Ketergantungan pada utang, alokasi belanja yang tidak seimbang, dan strategi pendapatan negara yang masih bertumpu pada kelompok masyarakat tertentu menunjukkan bahwa APBN ini lebih berpihak pada kepentingan elit ekonomi daripada masyarakat luas.
Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini akan dibiayai melalui utang sebesar Rp 775,9 triliun. Angka ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada utang sebagai sumber pembiayaan negara.
Pemerintah mengklaim bahwa utang akan dikelola secara hati-hati dan berkelanjutan, tetapi sejarah mengajarkan bahwa beban utang yang besar sering kali berujung pada krisis fiskal, terutama ketika ekonomi global mengalami guncangan.
Ketergantungan pada utang ini juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan sumber pendapatan yang lebih mandiri dan berkelanjutan. Alih-alih mengembangkan basis ekonomi yang lebih kuat dan diversifikasi pendapatan negara, pemerintah lebih memilih jalur mudah dengan terus menambah utang.
Baca Juga
Dampaknya, beban pembayaran bunga dan cicilan utang akan semakin membengkak di masa depan, mengurangi ruang fiskal yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program sosial dan pembangunan infrastruktur yang lebih mendesak.
Pendapatan negara dalam APBN 2025 ditargetkan sebesar Rp 3.005,1 triliun, yang berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.490,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 513,6 triliun. Penerimaan perpajakan yang tinggi tentu saja penting untuk menjaga stabilitas fiskal, tetapi pertanyaannya, dari mana pajak ini akan dipungut?
Kebijakan perluasan basis pajak sering kali membebani kelas menengah dan usaha kecil. Sementara itu, perusahaan besar dan elit ekonomi sering kali memiliki akses pada berbagai insentif atau celah hukum untuk mengurangi beban pajak mereka. Akibatnya, ketimpangan pendapatan dan kekayaan di Indonesia tetap tinggi. Ketidakadilan ini akan terus berlanjut jika tidak ada reformasi struktural yang serius untuk menciptakan sistem perpajakan yang benar-benar adil dan berkeadilan sosial.
PNBP yang dioptimalkan melalui pengelolaan sumber daya alam juga menyimpan tantangan tersendiri. Peningkatan PNBP sering kali berarti eksploitasi sumber daya yang lebih masif, yang bisa berujung pada kerusakan lingkungan dan konflik sosial di tingkat lokal.
Masyarakat adat dan komunitas lokal sering menjadi korban utama dari kebijakan ini, tanpa mendapatkan manfaat yang sebanding dari eksploitasi sumber daya di wilayah mereka.
Belanja Negara Tidak Merata
Belanja negara pada 2025 mencapai Rp 3.621,3 triliun, dengan alokasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 2.701,4 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 919,9 triliun. Ketimpangan alokasi ini menunjukkan dominasi pemerintah pusat dalam pengelolaan anggaran, sementara daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah tetap terpinggirkan.
Belanja pemerintah pusat yang besar mencerminkan kecenderungan sentralisasi fiskal, yang justru menghambat otonomi dan inovasi di tingkat daerah. Padahal, pembangunan yang merata dan inklusif membutuhkan distribusi anggaran yang lebih adil antara pusat dan daerah.
Ketimpangan ini dapat memperkuat ketidakadilan struktural antara daerah maju dan daerah tertinggal, menghambat upaya pemerataan pembangunan yang seharusnya menjadi tujuan utama APBN.
Program-program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis, renovasi sekolah, dan pemeriksaan kesehatan gratis adalah langkah yang baik. Namun, program-program ini cenderung bersifat tambal-sulam, tanpa menyentuh akar masalah struktural yang lebih dalam. Misalnya, program makan bergizi gratis tidak akan efektif jika sistem distribusi pangan masih dikuasai oleh segelintir pelaku usaha besar yang memonopoli harga dan pasokan.
Demikian pula, renovasi sekolah dan pembangunan sekolah unggulan hanya akan menjadi solusi jangka pendek jika tidak ada reformasi yang lebih mendasar pada sistem pendidikan nasional.
Kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah dan antarsekolah masih sangat besar, mencerminkan ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas. Tanpa perubahan struktural yang lebih mendalam, program-program ini hanya akan menjadi kosmetik belaka.
Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% dan inflasi yang rendah (2,5%), pemerintah tampaknya lebih fokus pada stabilitas makroekonomi ketimbang pemerataan kesejahteraan. Stabilitas ini memang penting, tetapi jika hanya dinikmati oleh segelintir elit ekonomi, maka tujuan untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif tidak akan tercapai.
Kesimpulannya, APBN 2025 mencerminkan kebijakan fiskal yang masih bertumpu pada paradigma lama: mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan sosial. Tanpa reformasi yang lebih mendasar, APBN ini hanya akan memperkuat ketimpangan struktural yang sudah ada, meninggalkan mayoritas masyarakat Indonesia dalam ketidakpastian dan ketidakadilan.
Pemerintah perlu lebih serius mempertimbangkan kebijakan yang tidak hanya stabil secara makroekonomi, tetapi juga adil dan inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia.