Bisnis.com, SERANG — Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi dan daya beli masyarakat sebelum menerapkan kenaikan pajak pertamabahan nilai alias PPN menjadi 12%.
Menurut Josua, Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan kenaikan PPN menjadi 12% paling cepat pada 1 Januari 2025. Baginya, itu berarti pemerintah memiliki ruang untuk tidak langsung menaikkan PPN tahun depan.
"Artinya memang ada fleksibilitas di sana," ujar Josua dalam Media Gathering APBN 2025, Kamis (26/9/2024).
Josua menekankan bahwa pemerintah harus mendasarkan pengambilan kebijakan pada asesmen dan kajian, mengenai manfaat dan dampaknya. Kenaikan PPN dapat dilakukan apabila tidak membebani masyarakat.
"Kalau memang kalau kita lihat dampaknya signifikan, pada kelas menengah ataupun masyarakat umumnya, ya perlu ditunda. Karena itu kan paling cepat bisa [berlaku] 1 Januari, paling cepat artinya dari Undang-Undang HPP itu bisa saja mundur. Seperti cukai hasil tembaku lah [yang tidak naik pada 2025]," ujar Josua.
Meskipun demikian, perlu menjadi catatan bahwa saat tarif PPN naik jadi 12% tidak semua komoditas akan terdampak. Menurut Josua, komoditas pangan, pendidikan, kesehatan, dan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak tidak akan turut naik.
Baca Juga
Lalu, Josua menyebut bahwa kenaikan PPN 1% menjadi 12% dapat memberikan tambahan penerimaan bagi pemerintah, yang di antaranya dapat digunakan untuk program makan bergizi gratis (MBG), dengan kebutuhan anggaran Rp71 triliun.
Kebutuhan belanja yang besar akan berujung pada tambahan utang apabila rencana penerimaan negara tidak tercapai. Oleh karena itu, pemerintah perlu menimbang betul kenaikan PPN dan berbagai kebijakan fiskal di tengah kebutuhan belanja yang tinggi.