Bisnis.com, JAKARTA - Serikat Petani Indonesia (SPI) mengungkapkan, jumlah petani gurem mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir. Petani gurem merupakan petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menyampaikan, jumlah petani gurem tercatat mencapai 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Jumlah tersebut meningkat dibanding 2013 yang tercatat sebanyak 14,24 juta.
“Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mengalami lonjakan dalam satu dekade terakhir,” kata Henry dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (24/9/2024).
Pihaknya menilai, kebijakan reforma agraria selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya diarahkan untuk melegalisasi penguasaan kepemilikan tanah yang telah timpang, melalui proyek sertifikasi tanah.
Selain itu, kebijakan ini disebut menjadi jalan korporasi-korporasi besar menguasai tanah dengan mengatasnamakan proyek strategis nasional (PSN). Lalu, atas nama perubahan iklim, jutaan hektar tanah rakyat dijadikan hutan konservasi dan restorasi sebagai komoditas perdagangan karbon.
Sekretaris Jenderal Partai Buruh, Ferri Nuzarli menilai, reforma agraria seharusnya diarahkan pada upaya merombak struktur penguasaan agraria yang timpang.
Baca Juga
Menurutnya, reforma agraria harus dilaksanakan berdasarkan Konstitusi yakni sesuai dengan pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Hal ini juga perlu diperkuat dengan dicabutnya UU Cipta Kerja karena undang-undang ini melanggar Konstitusi serta menghalangi dilaksanakannya reforma agraria.
“Pemerintah harus memastikan land reform yakni membagikan tanah untuk rakyat yang tak bertanah, petani gurem untuk usaha-usaha pertanian, pembudidaya dan petambak perikanan untuk kedaulatan pangan, maupun untuk perumahan dan pemukiman serta fasilitas sosial bagi rakyat,” ujar Ferri.
Melihat kondisi ini, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mendesak pemerintah untuk mengembalikan tanah kepada rakyat, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Said menilai, reforma agraria sejati merupakan landasan bagi kedaulatan pangan. Menurutnya, jika tanah pertanian terus dikuasai korporasi besar dan dialihfungsikan untuk proyek komoditas ekspor, maka ketahanan pangan Indonesia akan semakin rapuh.
“Setiap tahun kita semakin bergantung pada impor pangan, sementara petani kita kehilangan akses ke tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan mereka,” tuturnya.
Pihaknya juga mendesak pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja yang dinilai melanggar konstitusi dan memperburuk ketimpangan agraria. Said juga mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani yang memperjuangkan hak-haknya.
“UU ini tidak hanya merugikan buruh, tetapi juga petani dan seluruh rakyat kecil,” pungkasnya.