Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Nilai Tarif Cukai MBDK 2,5% dan Rokok 5% untuk 2025 Sudah Tepat

Pengamat menilai tarif cukai minuman berpemanis yang rendah di awal penerapannya dan dievaluasi setelahnya sudah tepat.
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai usulan DPR terkait tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 2,5% dan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 5% per tahun pada 2025 sudah tepat. 

Manajer Riset dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan dirinya setuju tarif awal 2,5% untuk Barang Kena Cukai (BKC) baru tersebut berada di angka yang cukup rendah.

“Untuk 2,5% saya setuju. Sedari awal saya bilang, untuk tahap awal memang perlu tarif yang rendah setelah itu evaluasi,” ujarnya, Selasa (10/9/2024). 

Pasalnya, industri minuman ini merupakan padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Maka dari itu, tarif sebesar 2,5% untuk awal penerapan menjadi tepat dan evaluasi dapat dilakukan setelah uji coba nantinya. 

Meski demikian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelumnya juga mengusulkan tarif tersebut harus naik secara bertahap hingga ke angka 20%. 

Fajry berpandangan besaran tarif tersebut seharusnya tidak ditentukan di masa awal, namun menunggu evaluasi ke depan. 

“Bertahap sampai 20% saya kira kurang tepat, biarlah tarif dievaluasi tahunan dahulu. Dari evaluasi itu barulah ditentukan tarifnya,” jelasnya. 

Sementara untuk tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diusulkan naik sebesar 5% setiap tahunnya untuk dua tahun ke depan, 2025 dan 2026, Fajry menilai telah cukup mengakomodasi sepua aspek dalam kebijakan CHT. 

Meskipun, kenaikannya tidak setinggi dua tahun terakhir, yang rata-rata setiap golongannya naik 10%. 

Menurutnya, penentuan cukai rokok sangat kompleks karena maraknya rokok ilegal sebagai subtitusi. Pasalnya, jika pemerintah menaikan tarif terlalu tinggi, bukan penerimaan yang didapat malah penurunan. 

Tujuan pemerintah untuk mengendalikan dan menurunkan konsumsi rokok pun tidak tercapai karena terjadinya downtrading atau shifting dari rokok golongan atas ke golongan yang lebih rendah bahkan ke rokok ilegal. 

“Normalnya, kenaikan tarif CHT kisaran kurang lebih 10%. Namun dua tahun terakhir yang terjadi malah penerimaan CHT turun. Beban cukainya sudah tinggi,” lanjutnya. 

Sebelumnya, Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Wahyu Sanjaya menyampaikan kenaikan tarif CHT tersebut juga hanya dikhususkan bagi tembakau jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). 

Sementara jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak dilakukan dalam rangka untuk mendorong penambahan penyerapan tenaga kerja. 

Wahyu meminta pemerintah untuk merumuskan roadmap atau peta jalan kebijakan Industri Hasil Tembakau dengan penyederhanaan layer dan tahapan kenaikan secara bertahap untuk periode 1-15 tahun  serta mempertimbangkan faktor penerimaan negara dan keberlangsungan usaha.

“Kemarin sudah naik 10%, sekarang 5%. Kemarin setelah kita naikkan 10% tidak ada masalah. Kami berharap industri tumbuh tetapi kesehatan masyarakat itu menjadi lebih baik. Sebagian besar dari hasil cukaih rokok itu kan dikembalikan lagi dalam bentuk Dana Bagi Hasil,” ungkapnya di kompleks Parlemen, Selasa (10/9/2024). 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper