Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) meminta pemerintah untuk lebih memprioritaskan industri farmasi dan alat kesehatan menjadi industri prioritas. Terlebih dalam hal pemberian insentif berupa pemotongan pajak atau subsidi lainnya.
Ketua Umum AB3O, FX Sudirman mengatakan dia menyontohkan insentif pajak seperti PPN DTP untuk mobil listrik yang memenuhi kriteria TKDN tertentu.
"Saya berangan-angan seperti motor listrik, ada subsidinya kan. Kemudian mobil listrik subsidi PPN cuma 1%. Obat 11%, masa kalah sama ini. Demikian saya berharap dalam seminar ini kita bisa mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah," kata Sudirman, Selasa (10/9/2024).
Untuk mendorong kemandirian farmasi nasional, dia meminta pemerintahan mendatang yang dipimpin Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memprioritaskan industri farmasi dan menjadikannya sebagai komoditas strategis.
Dalam hal ini, dia memberikan contoh 2 negara produsen bahan baku obat terbesar di dunia yaitu India dan China. Keduanya dapat lebih maju lantaran adanya dukungan pemerintah berupa kebijakan yang kondusif, subsidi, insentif, pajak, dan sebagainya.
"Indonesia sejak dikeluarkannya Inpres nomor 6 tahun 2016, banyak sekali insentif untuk industri farmasi dan alat kesehatan. Tapi gak banyak yang bisa menikmati. Misalnya tax holiday, super-tax deductibles, kemudian insentif-insentif fiskalanya. Gak banyak yang bisa memanfaatkan. Kenapa? Karena terlalu umit. Mungkin dibuat dengan itikad baik, tapi mungkin tidak implementables," tuturnya.
Baca Juga
Sudirman menjelaskan 3 hal yang dapat menjadi pelajaran dari China saat ini. Pertama, China merupakan penguasa pasar Active Pharmaceutical Ingredients (API) dan produsen terbesar API di dunia, memasok lebih dari 40% dari produksi global.
Keberhasilan negeri Tirai Bambu itu didorong oleh investasi besar-besaran dalam kapasitas produksi, infrastruktur dan teknologi manufaktur yang canggih.
Kedua, banyak perusahaan farmasi China memiliki integrasi vertical, yang memungkinkan mereka untuk memproduksi bahan baku, antara, hingga produk jadi secara efisien dan dengan kontrol biaya yang ketat.
Ketiga, China menginisiasi 'Made in China 2025', pemerintah China berfokus untuk mengembangkan industri biofarmasi dan bahan baku obat sebagal salah satu sektor prioritas.
"Ini mencakup investasi besar dalam inovasi teknologi dan pengembangan kapasitas produk, terutama produk bioteknologi seperti vaksin, terapi gen, obat kanker dan produk biologis lainnya," terangnya.
Di sisi lain, 4 hal yang dapat dipelajari dari India sebagai produsen API terbesar yang menguasai 20% dari pasokan global. India mengekspor produk farmasi ke lebih dari 200 negara, termasuk negera-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dan berambisi menjadi Apotek Dunia.
India juga telah membangun infrastruktur regulasi yang kuat, dimana banyak fasilitas produksi farmasi dillndia mendapatkan sertifikasi dari otoritas internasional seperti FDA (Amenika Serikat), EMA (Uni Eropa) dan Pre-Qualification WHO.
"Ini meningkatkan kepercayaan global terhadap kualitas produk farmasi India," imbuhnya.
Terlebih, India sangat agresif berinvestasi dalam riset dan pengembangan, terutama untuk obat generik dan biosimilar yang memperkuat posisi India sebagai pemimpin dalam industri farmasi global.
Untuk itu, Sudirman menekankan kedua negara tersebut memiliki keunggulan dalam tenaga kerja murah dan infrastruktur yang berkembang pesat, sehingga mampu memproduksi bahan baku obat dan produk farmasi dengan harga yang kompetitif.
Di sisi lain dia juga meminta pemerintah untuk membuat komitmen jangka panjang. Sudirman menyontohkan proyek pembuatan vaksin TBC yang diamanahkan kepada holding BUMN farmasi, PT Biofarma (Persero).
"Ini commitment pemerintah di Indonesia sudah sangat baik. Tapi ada satu yang kurang adalah advance purchase agreement. Jadi pemerintah kalau punya kebutuhan dibeli di depan, kontrak di depan," pungkasnya.