Bisnis.com, JAKARTA - Pada pertemuan global terbaru, perhatian tertuju pada tantangan pembiayaan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, di tengah menurunnya pembiayaan mudah yang sebelumnya banyak berasal dari China.
Untuk diketahui, pembiayaan dari China mencapai puncaknya pada tahun 2016, namun sejak saat itu terus mengalami penurunan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah negara-negara berpenghasilan menengah, seperti Indonesia, memiliki kapasitas untuk membantu menutup kesenjangan pembiayaan yang ada.
Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Nugraha Mansury tak menutup mata apabila ketegangan ini cenderung membuat orang merasa bahwa mereka perlu memilih pihak.
“Dan saya pikir dengan Indonesia mencoba mengembangkan hubungan dengan Afrika juga memberikan diversifikasi bagi mitra Afrika,” ujarnya dalam diskusi panel Indonesia-Africa Forum (IAF) Ke-2 yang bertema Outlook from the Region: Update and Prospect for Cooperation, Senin (2/9/2024).
Menurutnya, dalam situasi global saat ini, banyak negara merasa terjebak dalam ketegangan geopolitik antara kekuatan besar dunia. Akibatnya, beberapa negara memilih untuk lebih mandiri dan tidak ingin berpihak kepada salah satu pihak yang sedang berkonflik.
Dalam konteks ini, Indonesia dilihat sebagai peluang untuk negara-negara lain, terutama di Afrika, untuk membangun hubungan yang lebih beragam dan tidak bergantung hanya pada satu kekuatan besar.
Baca Juga
Dia memberi contoh bahwa sekitar 70 hingga 80% dari proses pengolahan mineral kritis, terutama pada tahap menengah (midstream), terkonsentrasi di satu negara tertentu. Konsentrasi ini mencakup investasi, ekspor mineral kritis dari berbagai negara, termasuk negara-negara di Afrika, serta teknologi yang digunakan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang ketergantungan yang berlebihan pada satu negara untuk mineral-mineral yang sangat penting. Mineral kritis ini sangat strategis karena mereka akan menjadi penentu utama dalam transisi dunia menuju energi baru.
Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk membangun rantai pasokan global yang lebih solid dan terdiversifikasi untuk bahan-bahan dan komoditas strategis ini. Dengan rantai pasokan yang lebih kuat dan tersebar, dunia akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan dan mendukung transisi global ke energi baru secara lebih efektif.
“Jadi ini sebenarnya kami harap meskipun mungkin kami tidak memiliki jenis modal, tetapi kami memberikan jenis peluang, atau pilihan bagi orang-orang, negara-negara atau wilayah yang ingin menghindari terjebak dalam memilih pihak dalam ketegangan geopolitik ini,” ucapnya.
Dia juga merujuk pada sejarah kerjasama negara-negara selatan global, khususnya Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, di mana negara-negara ini berhasil bersatu di tengah ketegangan geopolitik yang serupa. Menurut Pahala, meskipun tantangan saat ini berbeda, prinsip kerjasama yang sama dapat diterapkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi.
Pahala menekankan bahwa upaya untuk mengatasi tantangan global, seperti memperkuat rantai pasokan dan melakukan diversifikasi dalam teknologi dan investasi, bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan.
Namun, dengan kerja sama yang kuat di antara negara-negara, maka diversifikasi dalam teknologi dan investasi ini akan membantu menciptakan rantai pasokan global yang lebih kuat dan lebih beragam.
“Hal ini tidak akan mudah, namun menurut saya dengan upaya yang benar-benar kita lakukan, dan ini bukanlah sesuatu yang hanya bersifat selatan-selatan saja, menurut saya ada banyak upaya utara-selatan yang perlu diwujudkan seiring dengan berjalannya waktu,” ujarnya.