Bisnis, JAKARTA— Kalangan pengembang kembali mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan penambahan kuota rumah subsidi dengan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) di tahun ini.
Hingga saat ini belum ada titik terang kepastian penambahan kuota rumah subsidi. Anggaran untuk program hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan skema FLPP yang tahun ini hanya sebesar Rp13,72 triliun untuk membiayai 166.000 unit rumah. Besaran tersebut hanya 0,4% dari total APBN 2024 yang mencapai Rp3.235 triliun.
Kemudian, di tahun lalu, anggaran FLPP mencapai Rp26,3 triliun untuk memasok sebanyak 229.000 unit rumah subsidi. Diproyeksikan alokasi kuota rumah subsidi tahun ini akan habis pada akhir Agustus.
Simak ulasan singkat berita pilihan tim redaksi Bisnisindonesia.id lainnya, Kamis (22/8/2024) berikut ini.
Desakan Pengembang Kembali Minta Penambahan Kuota FLPP Rumah Subsidi
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Joko Suranto mengatakan komitmen pemerintah meningkatkan kuota rumah subsidi FLPP diperlukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang saat ini telah mencapai 9,9 juta.
Menurutnya, apabila kuota FLPP tidak segera ditambah pada tahun ini, maka dikhawatirkan bakal menimbulkan ketidakpastian kondisi ekonomi. Selain itu, dikhawatirkan bakal memengaruhi laju kas para pengembang hingga dikhawatirkan menimbulkan kredit macet para pengembang. Dia menilai tanpa tambahan kuota FLPP juga akan membuat akses masyarakat memiliki rumah terganggu.
Tren Pergeseran Investasi Dapen di SRBI
Investasi dana pensiun yang disimpan di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) meningkat pada Juni 2024. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, dana pensiun mencatatkan lonjakan 221% month-to-month (MtM) aset bersih yang disimpan di SRBI. Jumlah itu meningkat dari Mei 2024 sebesar Rp1,9 triliun menjadi Rp6,1 triliun pada Juni 2024.
Jika diperinci, lonjakan itu utamanya berasal dari lonjakan investasi oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dari Rp1,59 triliun menjadi Rp4,94 triliun, atau naik 210% MtM. Apa penyebab dana pensiun melirik SRBI? Ulasan lengkapnya bisa diakses melalui tautan yang tersedia.
Proyeksi Kekuatan Rupiah Kala Asumsi Makro Ekonomi Masih Lesu
Keputusan Bank Indonesia menetapkan BI Rate di angka 6,25% sebagai upaya untuk fokus terhadap penguatan rupiah, yang nantinya dapat berdampak positif terhadap pangan maupun manufaktur.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa, kondisi rupiah pada posisi stabil dan berada di posisi yang baik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada situasi penguatan rupiah membuat harga lebih murah, khususnya harta pangan.
Di sisi lain, rupiah mendukung inflasi yang rendah, khususnya inflasi impor yang berpengaruh terhadap kinerja manufaktur. Penguatan rupiah mendukung sektor-sektor yang memiliki kebutuhan akan impor yang tinggi, misalnya tekstil.
Penguatan rupiah juga akan mendukung peningkatan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara umum.
DMO Minyak Goreng Turun, Harga Eceran Justru Naik
Pemerintah menurunkan target wajib pasok atau domestic market obligation (DMO) minyak goreng sebagai respons atas rendahnya realisasi penyaluran sepanjang tahun ini.
Kebijakan itu diambil Kementerian Perdagangan setelah mendapati rata-rata pasokan DMO bulanan dalam bentuk curah dan Minyakita di kisaran 157.000 ton per bulan sepanjang tahun ini, sedangkan target yang dipatok mencapai 300.000 ton.
Kemendag kemudian menurunkan target DMO minyak goreng menjadi 250.000 ton per bulan. Langkah itu diikuti oleh pemberian sejumlah insentif tambahan bagi produsen yang menyalurkan minyak goreng ke kawasan yang sulit diakses.
Manuver Maskapai BUMN di Tengah Keterbatasan Armada Pesawat
Sejumlah maskapai disebut enggan menambah pesawat kendati Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat. Sebaliknya, BUMN penerbangan mengambil langkah berani di tengah tantangan tingginya harga avtur dan tarif batas atas (TBA) yang rendah.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan saat ini di lapangan, Indonesia memang kekurangan pesawat karena jumlah armadanya masih belum pulih seperti sebelum pandemi. Hal ini membuat kebutuhan pasar tidak terpenuhi.
Setelah berakhirnya pandemi, permintaan penumpang mengalami pertumbuhan secara bertahap. Meski demikian, kondisi ini tidak diimbangi dengan bertambahnya unit pesawat yang beroperasi untuk rute domestik. Bagaimana strategi maskapai penerbangan menyikapi hal ini? Simak artikel selengkapnya di Bisnisindonesia.id.