Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan impor pakaian jadi pada Juli 2024.
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebut kenaikan volume impor terjadi pada produk pakaian dan aksesoris rajutan (HS 61), serta produk pakaian dan aksesoris bukan rajutan (HS 62).
"Secara bulanan HS 61 ini naik 55,46% [month-to-month/mtm] dan hs 62 naik 29,01% [mtm]," ujar Amalia, Kamis (15/8/2024).
Dia membeberkan, sebagian besar impor pakaian jadi itu berasal dari China, Vietnam, Bangladesh, Hongkong dan Maroko.
Kendati begitu, secara kumulatif impor pakaian jadi selama periode Januari - Juli 2024 dari China mengalami penurunan 4,75% untuk kode HS 61 dan turun 7,17% untuk kode HS 62. Menurutnya, untuk impor kelompok pakaian dan aksesoris bukan rajutan yang mengalami penurunan paling banyak merupakan kelompok berbahan nonkatun.
Amalia mengatakan angka impor secara kumulatif lebih menunjukkan tren impor yang lebih baik. Sementara tren impor secara bulanan relatif dipengaruhi oleh proses pengiriman kebutuhan untuk stok yang berbeda setiap bulannya.
Baca Juga
"Namun sekali lagi kalau bulanan mengalami peningkatan, untuk data ekspor atau impor yang lebih relatif baik adalah melihat angka kumulatif dari satu periode," bebernya.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Senin (12/8/2024), Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan, untuk mengatasi kontraksi kinerja industri, khususnya dari serangan impor, diperlukan kebijakan perlindungan berupa trade remedies.
Adapun, banjir produk tekstil impor diakibatkan overkapasitas di negara produsen tekstil dan pakaian jadi serta adanya perlambatan ekonomi global.
"BMAD adalah salah satu solusi yang ditawarkan, tetapi untuk prosesnya memerlukan waktu yang panjang," kata Jemmy kepada Bisnis, Senin (12/8/2024).