Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja perdagangan nonmigas antara Indonesia dengan China mengalami defisit hingga US$7,12 miliar pada periode Januari—Juli 2024.
Apabila mengacu pada kurs JISDOR akhir Juli 2024 yakni Rp16.294 per dolar AS, defisit itu setara dengan Rp116 triliun.
"Jika dilihat menurut negara maka defisit neraca perdagangan nonmigas kumulatif terbesar hingga Juli tahun ini adalah dengan Tiongkok [China] sebesar US$7,12 miliar," ujar Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta pada Kamis (15/8/2024).
Selain China, pada periode yang sama Indonesia juga mencatat defisit perdagangan nonmigas dengan Australia senilai US$2,89 miliar dan Thailand sebesar US$2,55 miliar.
Amalia pun meringkas nilai ekspor Indonesia mencapai US$22,21 miliar pada Juli 2024 atau mengalami peningkatan 6,55% secara bulanan dan kenaikan 6,46% secara tahunan.
Penyumbang utama peningkatan ekspor secara bulanan adalah sektor pertambangan dan lainnya, sementara secara tahunan adalah sektor industri pengolahan.
Baca Juga
Masih pada Juli 2024, nilai impor mencapai US$21,74 miliar atau mengalami peningkatan 17,82% secara bulanan dan 11,07% secara tahunan. Amalia menjelaskan, penyumbang utama peningkatan nilai impor secara bulanan dan tahunan adalah impor bahan baku/penolong.
Secara keseluruhan, neraca perdagangan barang Indonesia kembali mengalami surplus sebesar US$0,47 miliar pada Juli 2024.
"Atau turun sebesar US$1,92 miliar secara bulanan," jelas Amalia.
Dia merincikan, surplus neraca perdagangan pada Juli 2024 ditopang oleh surplus perdagangan komoditas nonmigas senilai US$2,16 miliar. Komoditas yang menyumbang surplus adalah bijih logam terak dan abu (HS 26) yang naik 51,11%, serta mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) yang naik 14,89%.