Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

10 Tahun Jokowi: Tax Ratio Tidak Tambah Tinggi meski Semua Dipajaki

Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, tax ratio tetap berkutat di kisaran 10% walaupun ada program tax amnesty jilid II dan kenaikan tarif pajak.
Presiden Joko Widodo meninjau Viewing Deck Kantor Presiden di kawasan Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur pada Senin (29/7/2024). / Bisnis-Akbar Evandio
Presiden Joko Widodo meninjau Viewing Deck Kantor Presiden di kawasan Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur pada Senin (29/7/2024). / Bisnis-Akbar Evandio

Bisnis.com, JAKARTA — Menjelang genapnya 10 tahun Jokowi menduduki kursi presiden di Istana Negara, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tak kunjung mendekati 12,2% sebagaimana janjinya pada Pilpres 2019.

Bila diperhatikan secara saksama, tren penurunan rasio pajak atau tax ratio justru terjadi kala penerimaan perpajakan yang pemerintah kantongi semakin tebal.

Saat awal Joko Widodo (Jokowi) menjabat pada 2015, realisasi penerimaan perpajakan berada di angka Rp1.240,42 triliun dengan rasio 10,76% terhadap PDB. Sementara pada 2023 lalu, perpajakan berhasil mengumpulkan Rp2.154,2 triliun, namun rasionya hanya 10,2%.

Menyitir data Kementerian Keuangan, pemerintahan tahun pertama Jokowi pada 2015 mencatatkan rasio perpajakan sebesar 10,76% terhadap PDB. Turun dari 2014 yang sebesar 10,85%.

Penurunan berlanjut hingga 2017 ke angka 9,89%, kemudian naik ke angka 10,24% pada 2018. Kenaikan tersebut juga hanya bersifat temporer. Rasio pajak lagi-lagi terjun ke level 8,33% pada 2020, bahkan menjadi capaian terendah dalam dua era kepemimpinan Jokowi.

Pandemi Covid-19 menjadi alasan di balik merosotnya rasio pajak, seiring dengan rontoknya ekonomi Tanah Air, bahkan global.

Jokowi kemudian mengeluarkan jurus Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias tax amnesty jilid II pada 2022, dan program tersebut berhasil mengerek tax ratio menjadi 10,39%. Tanpa PPS, tax ratio 2022 hanya mencapai 10,08%.

Lebih lanjut, sepanjang 2022 dan 2023 rasio pajak terjaga di atas 10% karena adanya durian runtuh dari melambungnya harga komoditas global.

Indonesia ketiban ‘rejeki nomplok’ dengan penerimaan negara yang naik signifikan hingga 31,09% (year-on-year/YoY) pada 2022 dan masih mampu tumbuh 5,25% pada 2023. Sayangnya, hal tersebut tak ikut mengerek rasio pajak untuk naik lebih tinggi.

Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024 tax ratio dipatok sebesar 10,7%—12,3% terhadap PDB.

Berbeda dengan era SBY ketika terjadi booming komoditas yang bertepatan dengan krisis global pada 2008, rasio pajak langsung terkerek naik dan menjadi capaian tertinggi ke angka 13,31%.

Tahun Penerimaan Perpajakan Tax Ratio
2015 Rp1.240,42 triliun 10,76%
2016 Rp1.284,97 triliun 10,36%
2017 Rp1.343,53 triliun 9,89%
2018 Rp1.518,79 triliun 10,24%
2019 Rp1.546,14 triliun 9,76%
2020 Rp1.285,14 triliun 8,33%
2021 Rp1.547,84 triliun 9,12%
2022 Rp2.034,55 triliun 10,39%
2023 Rp2.154,2 triliun 10,2%
*2024 Rp2.309,9 triliun 9,91%—10,18%

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun menyoroti capaian tax ratio era Jokowi yang cenderung menurun bahkan stagnan dibandingkan dengan masa SBY.

Anggota komisi XI DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Primus Yustisio menuturkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya memamerkan keberhasilan penerimaan negara yang melampaui target, tetapi tidak dengan tax ratio.

"Kalau dibandingkan 10 tahun, pemerintahan Pak Jokowi dibandingkan SBY, apple to apple, itu banyak menurun, tax ratio di pemerintah ini [jadi yang] terendah di pemerintahan SBY," singgung Primus dalam rapat bersama Kemenkeu beberapa waktu lalu.

Menurutnya, potensi pajak dari kegiatan digital, layak untuk didorong ke kas negara.

Per Juli 2024, penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital seperti Google hingga pinjol, tercatat senilai Rp26,75 triliun. Namun, perlu dicatat, bahwa pajak itu berasal dari transaksi, bukan mencerminkan seluruh aktivitas usaha dan laba perusahaan-perusahaan digital raksasa.

Ancaman Shadow Economy

Sektor ekonomi digital menjadi ‘perairan’ pajak yang belum terjaring karena diarungi oleh pekerja informal.

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) juga tercatat belum memberikan rekomendasi terkait strategi pemerintah untuk menjaring pajak dari sektor tersebut.

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyoroti sederet saran IMF untuk mengerek penerimaan, namun belum menyentuh sama sekali tantangan digitalisasi ekonomi.

"Saran IMF belum menyentuh sama sekali tantangan digitalisasi ekonomi. Tantangan digitalisasi dan ekonomi informal akan semakin relevan ke depannya," ujar Fajry, Minggu (11/8/2024).

Melihat kondisi saat ini, IMF juga belum menyentuh sama sekali bagaimana pajak mengatasi tantangan ekonomi informal alias maraknya shadow economy. Padahal, tantangan digitalisasi dan ekonomi informal akan semakin relevan ke depannya.

Sejauh ini, permintaan IMF agar pemerintah Indonesia memperluas basis pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, menurunkan threshold PKP dan UMKM, hingga mendorong pengenalan cukai BBM.

Memang, saran-saran tersebut dapat menambah pundi-pundi uang negara setidaknya sebesar 6,1% dari PDB atau lebih dari Rp1.200 triliun (PDB 2023 Rp20.892,4 triliun).

Nyatanya, banyak hambatan dan pro kontra ketika pemerintah ingin mengeluarkan kebijakan perpajakan baru selayaknya cukai plastik dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper