Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jor-joran Belanja Infrastruktur Jokowi, Ekonom: Efeknya Baru Terasa 10 Tahun Lagi

Ekonom menilai pembangunan infrastruktur bisa dilihat efek positifnya setelah berjalan 10 tahun ke depan.
Kondisi infrastruktur dasar Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) sebelum diresmikan oleh Presiden Jokowi pada Jumat, 26 Juni 2024. Sebanyak 18 tenant telah menanamkan investasi di KITB yang didominasi penanaman modal asing (PMA). / BISNIS-Afiffah Rahmah
Kondisi infrastruktur dasar Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) sebelum diresmikan oleh Presiden Jokowi pada Jumat, 26 Juni 2024. Sebanyak 18 tenant telah menanamkan investasi di KITB yang didominasi penanaman modal asing (PMA). / BISNIS-Afiffah Rahmah

Bisnis.com, JAKARTA – Lebih dari Rp3.500 triliun uang negara yang Joko Widodo (Jokowi) pergunakan untuk membangun infrastruktur di Indonesia sepanjang dirinya menjabat sebagai orang nomor satu di Tanah Air. 

Faktanya, dorongan fiskal tersebut tak mengerek pertumbuhan ekonomi yang justru stagnan di angka 5%. 

Membandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014), dengan belanja infrastruktur yang tidak sebesar Jokowi, pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh ke atas 6%. 

Penurunan angka kemiskinan selama satu dekade Jokowi pun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tidak secepat era SBY. 

BPS mencatat persentase penduduk miskin terhadap total penduduk Indonesia pada 2004 sebesar 16,66%. Kemudian pada 2014 jumlah penduduk miskin turun menjadi 11,25%. Dengan kata lain, SBY berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 5,41% dalam 10 tahun. 

Sementara persentase penduduk miskin di era Jokowi turun sebesar 2,22%, dari 11,25% (2014) menjadi 9,03% per semester I/2024. 

Sementara melihat arah kebijakan anggaran infrastuktur tahun ini, yakni mempercepat pembangunan infrastruktur penggerak ekonomi (konektivitas dan transportasi, energi dan ketenagalistrikan, dan pangan). 

Di sisi lain, BPS juga mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada 2004 di angka 9,86%. Sepanjang SBY menjadi presiden, angka pengangguran turun ke level 5,7% pada 2014. 

Sementara sepanjang 2014 hingga 2024 atau masa Jokowi, TPT turun dari 5,7% menjadi 4,82% atau hanya turun 0,88%. 

Indikator 2004 2014 2024 
TPT (%)  9,86 5,7  4,82
Pertumbuhan Ekonomi (%yoy) 5,03 5,01 5,08 (year-to-date Juli 2024)
Persentase Penduduk Miskin (%) 16,66 11,25 9,03

Efek Jangka Panjang

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede melihat adanya perbedaan fokus pemerintah SBY dan Jokowi dalam hal pembangunan infrastruktur. 

Dari sisi dampaknya kepada ekonomi seperti angka kemiskinan dan GNI, Josua menyampaikan hal tersebut tidak dapat dibandingkan karena tidak setara atau tidak apple to apple. 

Pasalnya, pada pemerintah SBY kerap terjadi commodity boom. Ditambah lagi, fokus SBY dalam menjaga daya beli, jadi dampak kepada inflasi terbatas karena harga cenderung ditahan. 

“Ini berbeda fokus pemerintah Pak SBY dan Jokowi. Kami nilai pembangunan infrastruktur memang tidak bisa kita rasakan dalam jangka pendek, beyond 10 tahun setidaknya infrastruktur akan berdampak positif membuka sektor usaha baru dan peluang bisnis baru,” jelasnya beberapa waktu lalu. 

Josua menyampaikan, dampak pembangunan infrastruktur secara singkat dapat terlihat terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur, tempat Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara berada. 

Per kuartal II/2024, ekonomi di Kalimantan Timur berhasil tumbuh sebesar 5,22% yang ditopang oleh salah satunya oleh sektor konstruksi. Bahkan, ekonomi Kaltim tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,05% pada periode tersebut. 

Ke depan, menjadi tugas rumah pemerintahan baru untuk melanjutkan pembangunan dan perbaikan kualitan SDM agar infrastruktur yang masif dibangun tidak sia-sia. 

“Infra sudah kita bangun, faktor berikutnya adalah meningkatkan produktivitas labor cost, kita relatif cukup rendah. Sehingga itu menjadi pertanyaan mengapa pada saat perang dagang AS China, sebagian besar perusahaan China masuknya ke Vietnam,” jelas Josua. 

Tak bosan, Josua mengingatkan bahwa investasi yang masuk perlu lebih didorong dan diarahkan kepada padat karya yang menyerap lebih banyak tenaga kerja. 

“Harapannya bisa membangkitkan mendorong reindustrialisasi sehingga kita bisa mencapai trajektori untuk keluar dari middle income trap,” ujarnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper