Bisnis.com, JAKARTA-- Harga saham di Bursa Nikkei Jepang mengalami hari terburuk sejak 1987. indeks Nikkei 225 Stock Average jatuh dalam hingga -13,34%. Investor juga keluar dari bursa Topix yang anjlok 12,23%. Longsor dalamnya harga saham di Jepang seiring tengah lonjakan nilai tukar yen, kebijakan moneter yang lebih ketat, dan kekhawatiran terhadap ekonomi AS.
Nilai tukar yen terhadap rupiah hari ini, 5 Agustus 2024 misalnya, menjadi Rp113. Bandingkan dengan nilai tukar pada 10 Juli lalu yang berada pada level Rp100,26 per 1 yen.
Longsornya harga saham juga disumbang forced sell atas efek margin. Saat yang sama, UBS Securities memangkas target indeksnya untuk Jepang, menambah tekanan pada pasar.
Rina Oshimo, ahli strategi senior di Okasan Securities Co., menyebut penjualan saham yang membuat indeks saham Jepang merana didorong oleh pelepasan kepemilikan oleh investor jangka panjang termasuk produk investasi lindung nilai. "Strategi valuasi dan fundamental tidak berlaku di beberapa area karena aspek penjualan panik pasar," ujar Oshimo dikutip dari Bloomberg.
Takehiko Masuzawa, kepala perdagangan ekuitas di Phillip Securities Jepang, menambahkan bahwa pelaku pasar berjangka seperti CTA melakukan short sell sehingga memperburuk keadaan.
Kyle Rodda, analis pasar senior di Capital.Com, menyatakan bahwa pergerakan cepat yen memberikan tekanan ke bawah pada ekuitas Jepang. "Ini juga mendorong pembatalan perdagangan carry trade yang besar, di mana investor meminjam yen untuk membeli aset lain, terutama saham teknologi AS," katanya.
Baca Juga
Rafael Nemet-Nejat, manajer portofolio senior di Jin Investment Management Pte, menjelaskan bahwa deleveraging besar-besaran sedang terjadi, dipicu oleh kenaikan suku bunga BOJ dan kemungkinan pemangkasan FOMC pada bulan September. "Banyak investor yang membeli perdagangan JPY yang lemah dan skenario soft landing dipaksa untuk membatalkannya," kata Nemet-Nejat.
Tim Morse, analis di Asymmetric Advisors, menambahkan bahwa penurunan yen dari 145 menuju 142 membuat terobosan teknis lebih lanjut tampak dalam jangkauan.
Jumpei Tanaka, ahli strategi di Pictet Asset Management, menyebutkan bahwa saham Jepang terpengaruh oleh ‘Sahm Rule’ yang dipicu oleh pengumuman kenaikan tingkat pengangguran AS menjadi 4,3%. "Investor menjadi semakin waspada terhadap memburuknya indikator ekonomi AS," ujarnya.
Hideyuki Suzuki, manajer umum di SBI Securities, menambahkan bahwa statistik ketenagakerjaan AS meningkatkan ketidakpastian dalam ekonomi AS, yang dikombinasikan dengan kekuatan yen yang berkelanjutan, menyebabkan pasar jatuh tajam.
James Salter, CIO Zennor Asset Management, menyatakan bahwa kekhawatiran jangka pendek tidak mengurangi optimisme jangka panjang terhadap perubahan alokasi modal di Jepang. "Kami tidak memperkirakan hal ini akan berdampak radikal pada daya saing Jepang atau pendapatan," katanya.
Hiroshi Namioka, kepala strategi di T&D Asset Management Co., menyebutkan bahwa dengan volatilitas yang meningkat, pasar kemungkinan akan sulit selama beberapa hari ke depan tetapi mungkin akan pulih menjelang akhir minggu ini.
Rupal Agarwal, ahli strategi kuantitatif Asia di Sanford C. Bernstein, menekankan bahwa meskipun berita buruk saat ini, pandangan jangka panjang terhadap Jepang tetap positif. "Kami tetap merekomendasikan untuk melihat saham berkualitas dan menambah lebih banyak eksposur ke Jepang domestik," ujarnya.