Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat hingga Juni 2024 setidaknya sebanyak 32.064 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Merujuk Satudata Kemenaker, DKI Jakarta menjadi menjadi provinsi dengan tenaga kerja yang paling banyak dirumahkan hingga Juni 2024.
“Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sekitar 23,29% dari jumlah keseluruhan kasus yang dilaporkan,” ungkap Kemenaker, dikutip Kamis (1/8/2024).
Secara terperinci, Kemenaker melaporkan bahwa total tenaga kerja yang kena PHK di DKI Jakarta mencapai 7.469 orang, diikuti Banten 6.135 orang, Jawa Barat 5.155 orang, Jawa Tengah 4.275 orang, Sulawesi Tengah 1.812 orang, dan Bangka Belitung 1.527 orang.
Adapun total tenaga kerja yang di PHK hingga Juni 2024 mengalami peningkatan sebesar 21,4% dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 26.400 tenaga kerja.
Pada periode tersebut, tercatat Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah tenaga kerja yang paling banyak di PHK yakni sebanyak 11.595 orang, diikuti Banten 5.141 orang, Jawa Tengah 4.887 orang, Kalimantan Selatan 727 orang, DKI Jakarta 683 orang, dan Sulawesi Selatan 478 orang.
Baca Juga
Sementara itu, menurut catatan Bisnis.com, Kamis (6/6/2024), Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) melaporkan bahwa sebanyak 10.800 pekerja tekstil dirumahkan sepanjang periode Januari-Mei 2024.
Total 10.800 pekerja yang di PHK ini berasal dari 5 pabrik yang terpaksa berhenti beroperasi. Secara terperinci, PT Sai Apparel di Semarang telah menutup pabriknya dan merumahkan sebanyak 8.000 pekerja.
Lalu, PT Sinar Panca Jaya di Semarang melakukan efisiensi sebanyak 400 pekerja, PT Pulomas Bandung memangkas pekerja 100 orang, PT Alenatex Bandung tutup dan PHK 700 pekerja, serta PT Kusuma Group Karanganyar di Jawa Tengah tutup dan PHK 1.600 pekerja.
Presiden KSPN Ristadi menyebut bahwa pesanan tekstil di pabrik lokal yang masih lemah telah menyebabkan sejumlah pabrik berhenti beroperasi lantaran tak ada pesanan yang masuk. Selain itu, pasar ekspor pun masih dalam tren menurun.
“Yang lokal karena pasar dalam negeri dipenuhi oleh barang-barang tekstil impor khususnya dari China, sehingga produk tekstil dalam negeri tidak bisa laku karena kalah harga jual,” ungkap Ristadi, Kamis (6/6/2024).