Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kondisi ekonomi global saat ini masih sangat terpengaruh oleh eskalasi konflik antar negara yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Bukan hanya persoalan perang antara Rusia dan Ukraina maupun Israel dengan Palestina, Sri Mulyani turut mewaspadai kondisi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang terus menciptakan ketegangan.
“Entah karena siklus pemilu di masing-masing negara atau memang suasananya meningkat, ini menimbulkan ketidakpastian global yang sangat tinggi,” ungkapnya dalam konferensi pers APBN Kita edisi Juni, Kamis (27/6/2024).
Ketidakpastian dari perang dagang tersebut juga berpengaruh terhadap perubahan kebijakan industri, perdagangan, dan investasi dari berbagai negara.
Tercatat, berbagai negara telah melakukan tindakan pre-emptive beruspa restriksi yang bersifat menjaga kepentingan nasionalnya.
Dalam paparannya, tercatat setidaknya enam negara yang melakukan kebijakan industri global. Mulai dari Amerika yang menerapkan CHIPS Act dan Inflation Reduction Act (IRA), sementara China membuat kebijakan larangan ekspor critical mineral.
Baca Juga
Bukan hanya kedua negara yang sedang melakukan perang dagang tersebut, Eropa turut memberlakukan Green Deal Industrial Plan dengan mekanisme penyesuaian perbatasan karbon (CBAM).
India diketahui menerapkan production-linked incentives yang merupakan insentif terkait kinerja untuk memberikan insentif kepada perusahaan atas penjualan tambahan dari produk yang diproduksi di unit domestik.
Mitra dagang Indonesia, yakni Korea Selatan juga menerapkan K-CHIPS Act seperti halnya Amerika yang menerapkan kebijakan serupa.
Berangkat dari kondisi restriksi perdagangan tersebut, Sri Mulyani melaporkan adanya peningkatan jumlah sanksi dan restriksi dagang.
“Dari sisi hubungan antarnegara secara global terjadi perubahan sangat drastis dalam 5 tahun terakhir. Hal inie mengalami eskalasi seiring dengan munculnya ketegangan dan persaingan antar negara makin sengit,” tuturnya.
Mengacu pada data yang dirinya paparkan, pada 2019 tercatat hanya terdapat 982 measure atau langkah terkait sanksi dan restriksi dagang global. Sementara pada 2023, tercatat angka tersebut melonjak ke level 3.000 measure.
Alhasil, kondisi ini kemudian menimbulkan semakin banyak ketegangan dan melemahkan kondisi perdagangan dan investasi global.
“Peranan institusi global menjadi makin lemah karena setiap negara cenderung melakukan tindakan secara sepihak atau kalau ada dispute dilakukan perundingan bilateral,” lanjutnya.
Meski kondisi global sedang menekan ekonomi Indonesia, Sri Mulyani mencatat kinerja ekonomi Tanah Air masih mencatatkan resiliensi.
Neraca perdagangan Indonesia masih tercatat melanjutkan tren suprlus selama 49 bulan terakhir. Pada periode Januari-Mei 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) membukukan nilai surplus US$13,06 miliar, meski lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu pada angka US$16,47 miliar.