Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Minta Pemerintah Pertimbangkan Saran OECD soal Transfer Pricing

Kalangan pengusaha meminta pemerintah berhati-hati dalam mempertimbangkan saran OECD ihwal implementasi Pilar 1 Amount B mengenai transfer pricing.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bertemu dengan Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann di markas besar OECD, Paris, Prancis, Kamis (2/5/2024)./Instagram-@smindrawati
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bertemu dengan Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann di markas besar OECD, Paris, Prancis, Kamis (2/5/2024)./Instagram-@smindrawati

Bisnis.com, JAKARTA -  Kalangan pengusaha meminta pemerintah berhati-hati dalam mempertimbangkan saran Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) ihwal implementasi Pilar 1 Amount B mengenai transfer pricing.

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryadi Sasmita mengatakan bahwa masih terdapat tantangan dalam mengiimplementasikan penentuan harga transfer atau transfer pricing dalam rangka menutup celah penghindaran pajak. 

Dia menjelaskan, dari sisi otoritas pajak selama ini masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakan terkait transfer pricing. Sementara dari sisi wajib pajak dianggap menjadi beban kepatuhan yang lebih besar.

Kendati begitu, Suryadi mengakui bahwa substansi transfer pricing pada pilar 1 Amount B dapat mendorong penyederhanaan administrasi transfer pricing dan pengurangan biaya kepatuhan wajib pajak. Namun, di sisi lain Indonesia telah memiliki aturan transfer pricing di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.172/2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa.

"Dunia usaha senantiasa mendukung peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelazinan usaha [PKKU]," ujar Suryadi kepada Bisnis.com, dikutip Minggu (21/6/2024).

Sebagai upaya aksesi keanggotaan Indonesia ke dalam OECD, kata Suryadi, pertimbangan dan penyesuaian kebijakan mengenai transfer pricing memerlukan kajian yang mendalam dan prinsip kehati-hatian. Khususnya, dalam mempertimbangkan apakah Indonesia tergolong pada daftar atau yuridiksi berkapasitas rendah. Musababnya, kata dia, substansi pada pilar 1 Amount B mengenai transfer pricing juga sering kali menghasilkan sengketa dari sisi administrasi dan beban kepatuhan antara otoritas pajak dengan wajib pajak.

"Kategorisasi ini akan menentukan apakah terdapat urgensi bagi Indonesia untuk mengiimplementasikan Pilar 1 Amount B mengenai transfer pricing," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi mengatakan, apabila aturan Pilar 1 Amount B tidak diterapkan, maka bisa saja OECD menilai Indonesia belum mendesak untuk menjadi anggotanya. Namun, dia menyebut bahwa Indonesia masih punya peluang menjalankan PMK No.172/2023 atau sinkronisasi aturan dengan Pilar 1 Amount B dengan mempertimbangkan kondisi di dalam negeri.

"Harus dilihat bahwa bergabungnya Indonesia dalam OECD tidak berkaitan dengan kewajiban menerapkan agenda pajak yang dikeluarkan oleh OECD," kata Diana.

Setali tiga uang, Diana juga mengusulkan agar pemerintah segera menganalisis kehadarin substansi baru dari OECD tersebut. Jangan sampai nantinya desain sistem pajak yang semula dianggap sederhana justru menimbulkan kompleksitas pada substansi lainnya.

"Saya menilai penerapan Pilar 1 Amount B masih sulit diprediksi," ucapnya.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, Selasa (18/6/2024), Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyarankan Indonesia menerapkan ketentuan baru dari Pilar 1 Amount B Pajak Internasional Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).  

Ketentuan tersebut mengatur tentang simplifikasi kebijakan penentuan harga transfer atau transfer pricing dalam rangka menutup celah penghindaran pajak, terutama oleh korporasi multinasional. 

OECD dalam laporan terbarunya yang terbit Senin (17/6/2024), pada akhirnya menambahkan ketentuan administratif, di mana menjelaskan terkait definisi yurisdiksi yang memenuhi syarat dalam arti Bagian 5.2 (Pemeriksaan silang biaya operasional) dan Bagian 5.3 (Mekanisme ketersediaan data).  Indonesia masuk dalam daftar negara/yurisdiksi yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan silang biaya operasional. 

Pemeriksaan silang biaya operasional diterapkan sebagai pagar pembatas di mana indikator laba bersih atas penjualan diterapkan. Mekanisme ini mengatur penerapan tingkat batas baku dan tingkat batas alternatif, dengan tingkat batas alternatif yang terakhir dapat diterapkan di mana pihak yang diuji berada di yurisdiksi yang memenuhi syarat. 

Secara umum, Pilar 1 Amount B memberikan panduan yang dirancang untuk menyederhanakan penerapan peraturan harga transfer sehubungan dengan aktivitas pemasaran dan distribusi dasar, meringankan beban administratif, memangkas biaya kepatuhan, dan meningkatkan kepastian pajak bagi administrasi pajak dan wajib pajak. Pasalnya, sengketa penetapan harga transfer menjadi tantangan administrasi perpajakan dan mengakibatkan menurunnya kepatuhan bagi wajib pajak. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Rachmawati
Editor : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper