Bisnis.com, JAKARTA - China kini tak lagi jadi pusat investasi dalam pengembangan basis manufaktur. Perusahaan dari berbagai negara mulai melakukan diversifikasi rantai pasok ke luar China serta memindahkannya ke wilayah Asean dan India.
Bahkan, investor dari China sendiri mulai mencari lokasi potensial untuk melengkapi lini produksi eksisting saat ini. Efisiensi beban operasional pabrik di China yang cukup tinggi saat ini menjadi musababnya.
Kendati menjadi peluang besar untuk mendatangkan investasi asing, Indonesia yang menjadi salah satu target wilayah relokasi dinilai perlu lebih telaah memasukkan Foreign Direct Investment (FDI) yang memiliki nilai tambah positif bagi perekonomian negara.
Awal tahun ini, berbagai rencana pembangunan pabrik relokasi maupun baru dari China mulai gencar. Misalnya, industri polyester yang disebut akan kehadiran pemain besar dari China, meskipun realisasinya tak kunjung terdengar.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma G. Wirawasta menyebut Tongkun Group Co Ltd yang merupakan produsen bahan baku tekstil telah rama merencanakan pembangunan pabrik di RI.
"Memang ada dengar kabar itu [relokasi pabrik], sudah sejak lama dengar termasuk dari Tongkun yang akan investasi di bahan baku polyester, tetapi sampai saat ini kan belum realisasi," jelas Redma kepada Bisnis, dikutip Kamis (13/6/2024).
Baca Juga
Tongkun Group Co diketahui merupakan perusahaan manufaktur terkemuka berbasis di Kota Tongxiang yang memiliki 5 pabrik dalam negeri untuk memproduksi 1,5 juta ton polyester per tahun dan 1,8 juta ton kapasitas produksi filamen polyester.
Rencana investasi tersebut akan menambah jajaran 11 industri polyester yang ada dalam negeri. Namun, saat ini bahan baku polyester, Mono Etilen Glikol (MEG) masih harus dipenuhi melalui impor dengan kebutuhan mencapai 600.000 ton per tahun, sementara kapasitas produksi 200.000 ton per tahun.
Terlebih, dalam 3 tahun terakhir RI hanya mampu memproduksi bahan baku 50.000 ton MEG per tahun sehingga importasi bahan baku terus dilakukan yang sebagian besarnya datang dari Arab Saudi.
Di sisi lain, Peneliti China-Indonesia di Center for Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan pemerintah mesti memastikan komitmen perusahaan China menerapkan prinsip Environmental, Social, Governance (ESG).
"ESG mereka masih jelek, jadi memang perlu ada yang memerhatikan yang lebih kuat lagi untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan ini memgimplementasikan ESG," jelasnya, dihubungi terpisah.
Lebih lanjut, menurut dia, perlu ada regulasi khusus bagi perusahaan China yang akan merelokasi atau membuat pabrik baru di RI guna memastikan produk-produk domestik tidak kalah saing melalui penerapan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
"Yang buatan China ini, takutnya memang mereka akan menjual dengan harga murah," tuturnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, investasi China di Indonesia sepanjang 2019-2024 mencapai US$28,4 miliar atau sekitar Rp451,56 triliun. Adapun, 54% dari total investasi tersebut masuk ke sektor manufaktur.
Merujuk pada data JLL, foreign direct invesment (FDI) manufaktur ke Indonesia memiliki tren peningkatan dalam satu dekade terakhir. Pada 2023, nilai investasi asing yang masuk senilai US$28,7 miliar atau setara dengan Rp466 triliun.
Capaian FDI manufaktur tahun lalu di RI meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai US$24,7 miliar. Satu dekade lalu, nilai penanaman modal asing (PMA) di sektor manufaktur mencakup US$15,86 miliar pada 2013.
Laporan terbaru JLL mencatat industri yang potensial untuk dikeruk yakni pada subsektor logam dan barang dari logam mulai dari elektronnik, permesinan, kimia dan farmasi, kertas, tekstil, makanan dan minuman, serta otomotif.