Bisnis.com, BATAM - Sebanyak 40% warga Batam belum punya rumah hingga saat ini. Menurut Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Batam, program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berlaku 2027 mendatang tidak akan bisa menyelesaikan persoalan backlog perumahan.
"Saya tidak menyebut Tapera itu tidak bagus, tapi pola dan cara melakukannya perlu evaluasi. Bagi pengembang pasti bagus, karena market semakin luas dengan bertambahnya rumah subsidi," kata Ketua DPD REI Batam, Robinson Tan, Senin (10/6/2024) di Griya REI Batam.
Robinson kemudian mengungkapkan sejumlah faktor penentu yang menjelaskan mengapa Tapera belum efektif dalam mengatasi persoalan backlog perumahan.
Pertama yakni faktor perbankan. Menurut Robinson, meskipun Tapera merupakan program pemerintah, lantas apakah perbankan akan mempermudah seseorang lolos Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Pekerja di Batam proporsinya banyak karyawan kontrak, di mana baru sekitar dua atau tiga bank yang menerima KPR karyawan kontrak. Makanya kami selalu sounding agar kredit pekerja kontrak dipermudah oleh bank. Untuk sekarang ini, kebijakan perbankan belum mendukung penetapan Tapera nanti," ujarnya.
Meski Tapera nanti mampu membuka jalan untuk memiliki rumah, proses verifikasi di perbankan tentu juga masih selektif.
Baca Juga
"Jika prosesnya masih selektif, maka yang ada nanti penumpukan uang akan terjadi. Saya sarankan perbankan lebih menyederhanakan syaratnya, pasti ada risikonya, tapi kan ada dana yang menalangi. Lagi-lagi apa prosesnya bisa semudah itu," tuturnya.
Selanjutnya, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam pengelolaan dana. Menurut Robinson, tingkat kepercayaan masyarakat sangat rendah, mengingat banyak sekali kasus penyalahgunaan wewenang pengelolaan dana yang berasal dari rakyat, misalnya kasus korupsi Asabri, lalu kasus Taspen.
Untuk Tapera sendiri, pengelolanya yakni Badan Pengelola atau BP Tapera, yang berdiri sejak 2016. Namun mengelola dana yang konon kabarnya bisa mencapai ratusan triliun, tentu butuh manajemen pengelolaan yang profesional dan transparan. Karena masih minim pembuktian, maka tingkat kepercayaan masyarakat belum ikut meningkat.
"Pola dan pengelolaannya harus dikaji ulang. Tapera ini bisa membantu, tapi untuk saat ini belum jadi solusi tepat, perjalanannya masih panjang. Di Singapura dan Malaysia, program ini berhasil, dimana tiap warga negara gotong royong untuk backlog. Di Indonesia belum bisa," tuturnya.
Robinson juga melihat perlu proses seleksi untuk memilah pekerja seperti apa yang gajinya bisa dipotong sebesar 3% untuk iuran Tapera.
"Bagi pekerja pas-pasan (gaji UMK), tentu incomenya akan berkurang sangat besar. Tapera ini bagus, secara niat dan tujuan baik, tapi pola dan pengelolannya masih harus dikaji ulang," tegasnnya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam juga menolak penerapan iuran Tapera oleh pemerintah pusat. "Apindo Batam menilai aturan Tapera terbaru dinilai semakin menambah beban baru, baik baik pemberi kerja maupun pekerja," kata Ketua Apindo Batam Rafki Rasyid.
Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24%- 19,74% dari penghasilan pekerja dengan rincian terdiri dari Jaminan Sosial Ketenagakerjaan berdasarkan UU No. 3/1992 tentang Jamsostek, berupa Jaminan Hari Tua 3,7%, Jaminan Kematian 0,3%, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,241,74%, dan Jaminan Pensiun 2%.
Selanjutnya, Jaminan Sosial Kesehatan berdasarkan UU No.40/2004 tentang SJSN berupa Jaminan Kesehatan 4%. Terakhir, Cadangan Pesangon berdasarkan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8%. Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar.