Bisnis.com, JAKARTA- Gejala deindustriliasi disebut semakin nyata dipicu kebijakan proteksi industri dilonggarkan. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru di era presiden terpilih Prabowo Subianto.
Kecemasan pengusaha manufaktur dengan gejala deindustrialisasi mulai meningkat. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengkhawatirkan pemberlakuan relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2024 yang dapat memicu kondisi deindustrialisasi di Indonesia.
Badan Pengurus Daerah (BPD) Jawa Barat API Andrew Purnama mengatakan kebijakan pemerintah yang mempermudah impor barang jadi masuk ke pasar domestik hanya akan mematikan industri atau produsen lokal.
"Pemerintah ini arahnya ke mana? Mau ke industri dalam negeri atau memfasilitasi hanya orang-orang berdagang dan membunuh industrinya, ya lama-lama deindustrialisasi," kata Andrew, belum lama ini.
Menurut Andrew, jika relaksasi impor terus diberlakukan selama dalam 1 tahun ke depan, maka Andrew menilai bukan tidak mungkin akan terjadi penutupan produktivitas industri. Apalagi, utilitas produksi industri tekstil saat ini rata-rata dikisaran 50-60%.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani juga mengungkap kecemasannya terkait gejala deindustrialisasi yang tercerminkan dari proporsi kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menyusut dalam 1 dekade terakhir.
Baca Juga
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB pada 2014 sebesar 21,28%, turun drastis dari tahun sebelumnya dengan sumbangsih 23,6% atau Rp2.152,6 triliun dari total PDB Rp9.084 triliun pada 2013.
Penurunan terus terjadi hingga tahun 2023, di mana kontribusi manufaktur berada di angka 18,67% atau Rp3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp20.892 triliun.
Proporsi manufaktur terhadap PDB 2023 memang mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2022 yang berkontribusi 18,34%, tetapi masih lebih rendah dari porsi manufaktur tahun 2021 sebesar 19,25%.
"Selama ini pelaku usaha dan analis ekonom selalu menyampaikan kekhawatiran terkait adanya deindustrialisasi yang semakin cepat bila iklim usaha atau investasi di sektor manufaktur tidak dibenahi," tuturnya.
Shinta menyebut deindustrialisasi dapat meminimalisir lapangan pekerjaan di sektor manufaktur hingga pengangguran struktural meningkat. Tak hanya itu, kondisi ini dapat terlihat dari penurunan produktivitas industri pengolahan hingga daya saing output manufaktur yang masih rendah.
Alhasil, produk lokal sulit bersaing dengan produk impor di dalam negeri dan produk serupa di pasar ekspor. Di sisi lain, pelaku industri ditargetkan mampu menggenjot pertumbuhan manufaktur tumbuh 5-6% dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 19,6% pada 2025.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho menyebut untuk dapat mencapai target dan memulihkan kinerja manufaktur RI yakni dengan memperbaiki konsumsi produk lokal.
"Saya rasa ya meningkatkan demand ya di dalam negeri dengan cara mendorong agar meningkatkan taraf pendapatan masyarakat kelas bawah," tutur Andry, dihubungi terpisah.
Andry juga mendorong pemerintah meningkatkan proteksi terhadap produk impor ilegal yang tidak diproduksi pabrikan lokal, maupun produk impor barang jadi yang sudah banjir di pasar domestik.