Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkap sejumlah investasi yang masih tersendat di sektor tekstil, khususnya untuk lini produksi polyester dalam negeri.
Ketua Umum APSyFI Redma G. Wirawasta mengatakan salah satu rencana penanaman modal yang tak kunjung direalisasikan yakni investasi manufaktur Tongkun Group, produsen polyester asal China yang sudah lama merencanakan pembangunan pabrik.
"Iya, memang ada dengar juga kabar itu. Sudah sejak lama dengar termasuk Tongkun yang akan investasi dibahan baku polyester, tapi sampai saat ini kan belum realisasi," ujar Redma kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Menurut Redma, salah satu penyebab terhambatnya investasi tersebut yakni lantaran regulasi di Indonesia yang tidak jelas dan tidak konsisten alias mudah diubah. Dia menilai investor membutuhkan regulasi yang menjamin keberlangsungan usaha jangka panjang.
"Memang ada regulasi yang perlu dinamis untuk beberapa kondisi, tapi kepastian regulasi jangka panjang juga diperlukan agar aman untuk investor," imbuhnya.
Jaminan regulasi hingga proteksi pasar dalam negeri harus menjadi prioritas. Pasalnya, berdasarkan data Statistika Market Insight 2024, yang melaporkan bahwa nilai pasar domestik industri fesyen di Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai US$7,72 miliar yang berasal dari tiga sektor utama, yaitu sektor apparel senilai US$4,04 miliar, sektor aksesoris US$2,18 miliar, dan sektor alas kaki US$1,64 miliar.
Baca Juga
“Selain itu, sektor industri fesyen diproyeksikan terus tumbuh per tahun rata-rata 4,26% hingga tahun 2029, dengan nilai pasar hingga US$9,6 miliar. Angka ini masih bisa meningkat, karena seiring dengan pertumbuhan sektor manufaktur nasional," kata Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita.
Nilai pasar tersebut menjadi peluang bagi pelaku industri kreatif di Indonesia untuk dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri, yang artinya bisa merebut pasar domestik di tengah persaingan produk impor.
"Saat ini terdapat 962.000 industri fesyen di dalam negeri, yang terdiri dari sektor tekstil, pakaian jadi, kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, yang mengalami kenaikan sebesar 12 persen dibanding tahun sebelumnya. Sektor tersebut tergolong padat karya, dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 1,6 juta orang,” ungkapnya.
Sementara itu, pertumbuhan untuk konsumsi pakaian, alas kaki, dan jasa perawatanya melesat 7,02% (year-on-year/YoY) pada kuartal II tahun 2023 lalu. “Pertumbuhan setinggi itu belum pernah dicapai, setidaknya sejak tahun 2010 atau 14 tahun terakhir,” imbuhnya.
Di sisi lain, Agus juga menegaskan bahwa narasi atau pandangan mengenai industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan sektor sunset industry, itu bisa dibantah atau dipatahkan.
"Saya khawatir, narasi ini sengaja dibuat, agar Indonesia tidak lagi memperhatikan atau mendukung industri tekstil nasional, sehingga kita lepas saja dimasukin oleh barang-barang impor,” jelasnya.
Padahal, merujuk data survei Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada dua bulan terakhir, industri TPT yang merupakan bagian dari 23 subsektor yang didata, menunjukkan kinerja yang ekspansif.
Pada triwulan I tahun 2024, industri TPT mulai menunjukkan perbaikan kinerja yang signifikan, di mana PDB-nya mengalami pertumbuhan sebesar 2,64% YoY.
Demikian juga secara quarter-to-quarter (QoQ) mengalami peningkatan 5,92% dibandingkan kuartal IV/2023 yang mengalami kontraksi -1,15%. Performa positif industri TPT juga tercemin dari capaian nilai ekspornya pada kuartal I/2024 yang mengalami peningkatan sebesar 0,19% atau senilai US$2,95 miliar.