Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Syarifudin Yunus

Direktur Eksekutif Perkumpulan DPLK

Syarifudin Yunus adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan DPLK. Dia juga menjadi Konsultan di DSS Consulting sekaligus Edukator Dana Pensiun.rn

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Blunder Tapera, Tabungan Rumah atau Hari Tua?

Tapera sudah terlanjur mengundang kontroversi di kalangan pekerja dan pemberi kerja.
Ilustrasi Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Dok Freepik
Ilustrasi Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA- Pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menegaskan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bukanlah uang hilang. Melainkan tabungan untuk jaminan hari tua bagi masyarakat dengan sejumlah manfaat. Itulah tanda blunder atau kecerobohan program Tapera.

Siapa sih pekerja yang mau dipotong gaji terus uangnya hilang? Jadi, Tapera itu tabungan rumah atau tabungan hari tua?

Tapera cukup kontroversial sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ditandatangani Presiden pada 20 Mei 2024. Tanpa sosialisasi ke publik, tiba-tiba Tapera dijadikan “wajib”.

Setiap pekerja diwajibkan terkena potongan gaji sebesar 3 persen untuk program Tapera (terdiri dari 0,5% dari pemberi kerja dan 2,5% dari pekerja). Alih-alih mendapatkan fasilitas perumahan yang kapan tahu akan terwujud, Tapera justru menambah beban berat ekonomi yang dihadapi para pekerja dan pemberi kerja. Maka wajar, Tapera diplesetkan menjadi “Tabungan Penderitaan Rakyat”.

Pertanyaannya, apa iya potongan gaji pekerja untuk Tapera bisa dibelikan rumah? Mari kita simulasikan dana Tapera dari seorang pekerja. Anggap saja Si A, pekerja berusia 25 tahun dan memiliki gaji Rp. 5 juta per bulan. Bila diikutkan ke Tapera, agar punya rumah di kemudian hari maka gajinya dipotong 3% setiap bulan.

Itu berarti, tabungannya sebesar Rp. 150 ribu per bulan. Bila disetahunkan, terkumpul dana Tapera atas nama Si A sebesar Rp. 1,8 juta per tahun. Bila Si A menjadi peserta Tapera di usia 25 tahun hingga pensiun di usia 58 tahun, maka uang Tapera yang terkumpul selama 33 tahun mencapai Rp. 59, 4 juta (tidak sampai Rp. 60 juta). Memang angka itu, belum termasuk hasil investasi. Tapi sejago-jagonya investasi, mungkin tidak akan melebihi dua kali lipat dari akumulasi dana Tapera-nya.

Si A pensiun di tahun 2058, setelah menjadi peserta Tapera selama 33 tahun dan uang Tapera yang terkumpul jumlahnya Rp. 59,4 juta. Apa bisa uang Tapera segitu dibelikan rumah? Sekarang saja, uang segitu belum tentu bisa beli rumah, apalagi tahun 2058 nanti. Jadi, rumah model apa yang bisa dibeli dengan uang Tapera dan di mana rumahnya?

Tapera, bisa jadi kebijakan yang bersifat blunder. Tanpa sosialisasi tanpa kajian yang mendalam, tahu-tahu bikin program yang “mewajibkan” pekerja dan pemberi kerja. Tanpa memilah pekerja yang sudah punya rumah dan belum punya rumah, semua wajib bayar Tapera. Tapera itu bukan sistem jaminan sosial nasional, kenapa diwajibkan? Maka kontroversi soal Tapera sebaiknya dihentikan dengan mengubah skema Tapera dari “wajib” menjadi “sukarela”.

Dikaji kembali, data pekerja yang belum punya rumah dan sudah punya rumah. Lihat data pekerja di atas 40 tahun yang mungkin diasumsikan tidak butuh rumah lagi tapi sangat membutuhkan keberlanjutan biaya sekolah anak.

Nantinya, diperkirakan ada potensi dana Tapera Rp71 triliun setiap tahun. Lalu, bagaimana badan pengelola Tapera mempertanggungjawabkan uang rakyat ini? Jangan sampai Tapera ini dijadikan “kantong korupsi” baru bagi para oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kasus korupsi di lembaga negara, sejujurnya telah menjadikan publik trauma dan semakin tidak percaya atas inisiatif penggalangan dana publik yang berkedok “program wajib”.

USULAN SKEMA

Semua pihak sadar, urusan rumah memang penting dan menjadi kebutuhan primer. Peran pemerintah soal kepemilikan rumah rakyat pun bagus. Tapi caranya harus tepat, mekanismenya harus mempertimbangkan keadaan ekonomi dan kondisi pekerja pada umumnya.

Bukan malah menjadikan Tapera sebagai sarana “mengumpulkan” uang rakyat secara wajib? Kan bisa pemerintah membuat skema yang rumahnya dibangun terlebih dulu, baru dijual ke pekerja dengan mekanisme (kredit kepemilikan rumah) yang ringan (bila perlu tanpa subsidi).

Menurut saya, pasti ada skema perumahan yang lebih baik dan pas untuk pekerja di Indonesia ketimbang Tapera. Asal mau dikaji dan mau berpikir yang berpihak kepada rakyat.

Sangat salah bila Tapera dinyatakan sebagai tabungan hari tua, bukan uang hilang. Itu berarti, Tapera orientasinya untuk hari tua bukan kepemilikan rumah. Bila untuk hari tua, mengapa tidak memperkuat layanan dan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang sudah ada di BP Jamsostek.

Selama ini, sudah ada PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua yang diperkuat oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Dalam Program Jaminan Hari Tua berupa perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT). Optimalkan saja program MLT yang ada, toh saat ini dananya sangat besar tapi masih sedikit yang memanfaatkannya.

Sebagai peserta JHT dan melalui program MLT, pekerja bisa mendapatkan fasilitas perumahan yang dananya bersumber dari program JHT untuk 4 (empat) manfaat seperti: 1) pinjaman KPR sampai maksimal Rp. 500 juta, 2) pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMO) sampai dengan Rp. 150 juta, c) pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta, dan 4) fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi (FPPP/KK). Jujur saja, manfaat layanan tambahan ini sudah bagus dan sebaiknya disosialisasikan ke pekerja. Tidak perlu bikin program wajib baru seperti Tapera.

Khusus terkait Tapera yang sudah terlanjur mengundang kontroversi di kalangan pekerja dan pemberi kerja, pemerintah sebaiknya mengkaji kembali skema Tapera dengan mempertimbangkan usulan sebagai berikut: Pertama, Tapera bersifat sukarela bukan wajib bagi pekerja (khusunya pekerja swasta) sehingga peruntukkannya benar-benar disasar kepada pekerja yang belum dan mau memiliki rumah.

Kedua, Tapera bisa bekerja sama dengan program JHT melalui manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja, khususnya dalam menyediakan perumahan dan lokasi perumahannya. Ketiga, Tapera bila mau diimplementasikan sebaiknya diterapkan terlebih dulu bagi ASN, TNI, dan Polri (belum prioritas untuk pekerja swasta).

Bagaimana realisasinya dan seperti apa? Bila evaluasi bagus, barulah diterapkan ke pekerja sektor swasta. Keempat, tunda atau batalkan Tapera agar tidak tumpang-tindih dengan program wajib yang sudah ada. Tabungan hari tua sudah ada program wajibnya, dan Tapera harus fokus pada kepemilikan rumah bukan tabungan hari tua.

Sejatinya, kondisi ekonomi Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Pekerja masih dihadapkan problem ekonomi dan daya beli yang cenderung menurun. Pemberi kerja dan pengusaha pun masih berjibaku dengan kompetisi bisnis yang kian sulit.

Jangan lagi ditambah dengan beban ekonomi yang belum tentu dibutuhkan, belum tentu terwujud di kemudian hari. Rumah memang penting tapi harus dikaji dan melibatkan data yang akurat. Buka hanya membuat program wajib seperti Tapera yang bermanfaat atau tidak bermanfaat, semua wajib bayar atau wajib potong gaji.

Jangan sampai blunder Tapera jadi kemana-mana dan terus-menerus berkelanjutan tanpa ujung. Saatnya duduk bareng dan memilih skema yang paling pas untuk membantu kepemilikan rumah bagi pekerja. Tapera itu tabungan perumahan, bukan tabungan hari tua. Lagi pula, apa iya uang Tapera bisa dibelikan rumah pada puluhan tahun mendatang? Mohon dipikirkan dan dipertimbangkan!


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper