Bisnis.com, JAKARTA- Program Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera telah disahkan undang-undang sejak 2016, tetapi gelombang penoalakan terus berdatangan. Buruh dan pengusaha kompak menilai program Tapera akan menyusahkan kedua belah pihak.
Program Tapera sejatinya merujuk Undang-Undang No.4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Dari sana, terdapat aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 yang merevisi PP No. 25/2020, yang menetapkan besaran pungutan Tapera sebesar 3% dari gaji atau upah peserta.
Dari besaran tersebut, pekerja menanggung iuran sebesar 2,5% dan pengusaha 0,5%. Lebih jauh, peserta mandiri berarti menanggung sekaligus 3%.
Tapera ini diputuskan mengikat dan wajib. Berlaku 7 tahun setelah penetapan PP 25/2020, atau sekitar 2027 nanti.
Untuk memuluskan program yang dikenakan bagi seluruh pekerja penerima upah di atas UMR ini, pemerintah pun memasang sanksi bagi pekerja maupun pengusaha. Sanksi administratif hingga denda itu akan dilaksanakan Badan Pengelola Tapera (BP Tapera).
BP Tapera menganggap program ini layak dijalankan, karena akan mengentaskan problem kesenjangan pasokan perumahan dengan permintaan atau backlog. Saat ini, jumlah backlog itu diklaim mencapai 9,95 juta.
Baca Juga
Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menjelaskan iuran Tapera seakan menjadi wadah gotong royong untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat yang belum mampu. “Ini konsepsi UU Nomor 4 Tahun 2016,” ungkapnya Jumat (31/5/2024).
BP Tapera mengakui kemampuan pemerintah menyediakan akses perumahan bagi masyarakat sangat terbatas. Bagi peserta yang telah memiliki rumah, maka dana tersebut bisa dialokasikan lebih dulu untuk subsidi Kredit Perumahan Rakyat (KPR) bagi yang membutuhkan.
Iming-iming lainnya, Heru mengilustrasikan dengan berjalannya Tapera, maka bunga KPR yang ditanggung tidak lebih dari 5% per tahun.
Semisal, lanjutnya, masyarakat yang mempunyai pendapatan Rp6 juta per bulan, bisa mengambil rumah susun senilai Rp300 juta. Lewat KPR Tapera, maka cicilan per bulan hanya sekitar Rp1,96 juta. Selanjutnya bagi peserta yang tak membutuhkan kredit KPR, bisa mengambil dana selayaknya tabungan dengan imbal hasil sesuai tingkat suku bunga deposito bank pemerintah.
SUARA BURUH dan PENGUSAHA TOLAK TAPERA
Di sisi lalin, pihak pekerja yang diwakili berbagai serikat buruh menilai program Tapera akan menambah beban seiring pendapatan tak seberapa. Terlebih lagi, sebagaimana disinggung Presiden Paratai Buruh dan KSPI Said Iqbal, dalam program Tapera seakan pemerintah lepas tangan, tidak ikut rembuk menambah pendanaan.
Senada Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban mengatakan sejak dalam bentuk undang-undang, para pekerja ikut menolak keras kebijakan Tapera. Namun pemerintah bergeming dan jalan terus.
Karena itu, Elly mengancam untuk menurunkan massa berdemonstrasi menolak kebijakan Tapera. Apalagi, katanya, rata-rata kenaikan UMP kini hanya dipatok kisaran 3% setahun.
“Apakah pernah dipkirkan pemerintah dampaknya. Mungkin bagi pemerintah sangat sederhana, tapi bagi buruh yang mayoritas bekerja di padat karya ini sangat mengganggu sekali,” ungkapnya Jumat (31/5/2024).
Lebih jauh, Elly menyinggung kenaikan upah buruh di Jawa hanya sekitar 3% atau nominal Rp60 ribu, saat bersamaan potongan iuran Tapera mencapai 2,5%. Terlebih lagi, fasilitas Tapera inipun entah kapan bisa didapatkan para pekerja.
Secara teknis, pemerintah pun belum gamblang menawarkan program Tapera yang menarik. Hingga kini, pemerintah belum membuka fakta pembangunan properti yang diinisiasi Tapera kelak, termasuk lokasi perumahan hingga lahan.
Dari sisi pengusaha, program Tapera pun dianggap hanya menambah beban iuran yang ditanggung. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengungkap sejauh ini saja, pengusaha telah menanngung beban iuran hingga 19,75%, terdiri dari Jamsostek, JHT, Jaminan Kematian, Kecelakaan Kerja, hingga Jaminan Sosial Kesehatan.
“Jumlahnya sekarang itu, jadi kalau misalnya ada penambahan lagi, tentu saja ini akan semakin bertambah bebannya,” kata Shinta.
Dia menilai kondisi saat ini penuh ketidakpastian bagi para pelaku usaha, di tengah daya beli dan permintaan pasar yang terus terberus. Ada baiknya, kata Shinta, Tapera ini tidak diwajibkan, karena memang sifatnya tabungan yang selayaknya sukarela.
Apalagi, menurut Shinta, semestinya pemerintah dapat mengoptimalkan penggunaan dana dari iuran yang selama ini dibayarkan pekerja untuk jaminan sosial. Shinta menerangkan, dalam BPJS Ketenagakerjaan terdapat pos Jaminan Hari Tua (JHT) yang 30% dananya itu dapat dimanfaatkan untuk manfaat layanan tambahan (MLT), termasuk untuk perumahan.
"Jadi ini sudah jalan dari BPJS Ketenagakerjaan, ini sudah jalan programnya, dan jumlahnya juga sudah besar, itu sudah hampir Rp136 triliun ya, dari total 30% dari total JHT," tuturnya.