Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mewajibkan pekerja dan pekerja mandiri untuk menjadi peserta tabungan perumahan rakyat atau Tapera menuai beragam reaksi dari masyarakat Indonesia. Pasalnya, iuran Tapera dipungut sebesar 3% dari gaji atau upah pekerja dan pekerja mandiri tiap bulannya.
Pembahasan mengenai Tapera bahkan menjadi perbincangan hangat di platform media sosial X (dulunya Twitter). Tidak sedikit yang menilai bahwa aturan tersebut membebani para pekerja mengingat sudah banyak potongan wajib yang dikenakan terhadap gaji pekerja di Indonesia.
“Dipotong pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, PPN 11%, cicilan rumah + kendaraan, dipotong Tapera 3%. Kegiatan yang tidak dipajaki pemerintah adalah kalau kita pindah kewarganegaraan,” tulis akun @Kemen****, dikutip Minggu (2/6/2024).
“Tapera ini idenya siapa? Aturan Tapera nggak bener, harus dibatalin,” komentar @boedi****.
“Ngeri, benar-2 memaksa, sanksi untuk pekerja dan pemberi kerja bila tak bayar dan tak mengikutsertakan pekerja untuk Tapera,” ujar @5teV***.
Lantas apa itu Tapera? Merujuk Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, Tapera merupakan penyimpanan dana oleh peserta untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Baca Juga
Berikut ini 7 fakta Tapera yang wajib diketahui pekerja dan perusahaan:
1. Urgensi Tapera
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuturkan, Tapera merupakan salah satu bentuk bahwa negara hadir untuk memastikan hak-hak warga negara agar mendapat kehidupan yang layak.
Tapera sendiri merupakan kelanjutan dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) yang kala itu hanya ditujukan untuk pegawai negeri sipil (PNS).
“Tapera kemudian diperluas untuk juga membantu pekerja swasta dan mandiri mendapatkan hunian,” ujar Moeldoko dalam konferensi pers, dikutip Minggu (2/6/2024).
Dia mengungkapkan, terdapat 9,9 juta backlog perumahan dan diprediksi akan semakin besar lantaran rata-rata harga properti per tahun naik 10% -15%, sementara kenaikan gaji pekerja tidak linier dengan kenaikan harga properti.
“Bahayanya rumah makin tidak terjangkau sehingga pemerintah harus memikirkan cara bagaimana memenuhi kebutuhan mendasar masyarakat,” ungkapnya.