Bisnis.com, JAKARTA - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah untuk mencabut aturan mengenai tabungan perumahan rakyat atau Tapera.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.21/2024 tentang Perubahan Atas PP No.25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai, ada sederet alasan mengapa pemerintah perlu mencabut aturan tersebut.
“Setidaknya ada enam alasan mengapa Tapera harus dicabut,” ujar Said melalui keterangan resminya, Minggu (2/6/2024).
Pertama, membebani biaya hidup buruh. Menurutnya, potongan iuran Tapera sebesar 2,5% dari gaji buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari mengingat daya beli buruh saat ini turun 30% dan upah minimum sangat rendah akibat hadirnya Undang-undang Cipta Kerja.
Belum lagi, potongan-potongan gaji lainnya seperti Pajak Penghasilan (PPh) 5%, iuran Jaminan Kesehatan 1%, dan iuran Jaminan Hari Tua 2%.
Baca Juga
“Potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12% dari upah yang diterima,” ungkapnya.
Kedua, ketidakpastian memiliki rumah. Said menuturkan, buruh tidak akan bisa membeli rumah dengan potongan iuran sebesar 3% dalam 10 hingga 20 tahun menjadi peserta Tapera. Bahkan, untuk uang muka saja dinilai tidak cukup.
Ketiga, pemerintah dinilai lepas tanggung jawab dengan hadirnya kebijakan ini. Pasalnya, Said menyebut bahwa tidak ada satu klausul dalam PP tersebut yang mengatakan bahwa pemerintah turut serta dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.
Mengingat dalam beleid itu, iuran hanya dipungut kepada pekerja dan pengusaha saja tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan pemerintah untuk Tapera.
“Dengan demikian, pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan,” tegasnya.
Keempat, dana Tapera rawan dikorupsi. Said menilai, terdapat kejanggalan dalam sistem anggaran Tapera yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Pasalnya, kata dia, di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial atau bantuan sosial.
Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah sedangkan anggaran bantuan sosial berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.
Dia menyatakan, model Tapera tidak termasuk kedua sistem tersebut mengingat dananya bersumber dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak terlibat dalam pendanaannya tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah.
Kelima, tabungan yang memaksa. Pemerintah beberapa waktu lalu menyebut bahwa Tapera merupakan tabungan. Menurutnya, tabungan seharusnya bersifat sukarela bukan memaksa.
“Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Menurut dia, subsidi antar peserta hanya diperbolehkan jika program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya, program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.
Terakhir, adalah ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera. Said menjelaskan, Tapera bagi buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.
Hal ini berbeda dengan PNS, TNI, dan Polri yang keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang lantaran tidak adanya sistem PHK. Namun, untuk buruh swasta dan masyarakat umum utamanya buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.
"Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera," pungkasnya.