Bisnis.com, JAKARTA - Selama kurun waktu pertengahan Maret hingga awal April 2024, kita dikejutkan dengan dugaan fraud di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) senilai Rp2,5 triliun yang dilaporkan oleh Menkeu Sri Mulyani kepada Kejaksaan Agung dan dugaan tindak pidana korupsi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. (TINS) dengan perkiraan kerugian negara mencapai sekitar Rp271,06 triliun. Yang menarik, berdasarkan keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, tata kelola yang belum baik menjadi salah satu penyebabnya.
Menurut pendapat penulis, kedua hal tersebut terjadi karena implementasi tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG) belum fokus sepenuhnya pada risiko utama. Identifikasi atas risiko utama LPEI bisa dilihat dari komposisi aset berupa pembiayaan dan piutang neto yang mencapai sekitar 80,21% dari jumlah aset LPEI 2023.
Secara spesifik, Pefindo sebagai lembaga pemeringkat melalui siaran pers pada 15 Maret 2018 telah menyatakan bahwa peringkat AAA LPEI dibatasi oleh kualitas aset di bawah rata rata-rata dan tekanan atas profitabilitas. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa rasio pembiayaan bermasalah (NPF bruto) meningkat tajam menjadi 13,73% pada 2018 dari 6,81% pada tahun sebelumnya dan terus menunjukkan kenaikan hingga mencapai 43,48% di 2023.
Akibatnya, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang dibukukan LPEI naik 82,49% YoY menjadi Rp32,63 triliun di saat total pembiayaan dan piutang bruto mengalami penurunan sebesar sebesar 11,73% YoY menjadi Rp73,82 triliun di 2023. Selanjutnya, pembentukan CKPN aset keuangan yang meningkat tajam sebesar 703,40% YoY menjadi Rp16,93 triliun berdampak kepada kenaikan rugi tahun berjalan sebesar 481,60% YoY menjadi Rp18,11 triliun di 2023.
Kerugian ini terjadi di tengah kenaikan pendapatan bunga dan usaha syariah sebesar 9,17% YoY menjadi Rp4,05 triliun yang didukung oleh kenaikan suku bunga per tahun khususnya dalam mata uang dolar AS. Selain itu, rasio kecukupan modal (CAR) turun menjadi 17,82% dari 32,70% di tahun 2022 sejalan dengan penurunan ekuitas sebesar 67,39% YoY menjadi Rp8,76 triliun.
Dengan demikian, risiko kredit adalah risiko terbesar yang dihadapi oleh LPEI sebagaimana yang ditegaskan dalam laporan keuangan audit LPEI 2023. Meskipun demikian, penulis tidak melihat penyajian rasio NPF bruto tersebut pada laporan keuangan publikasi. Penyajian rasio tersebut penting bagi stakeholders dan seharusnya setara dengan penyajian informasi di laporan keuangan audit dalam rangka pemenuhan prinsip-prinsip GCG yakni transparansi dan akuntabilitas.
Baca Juga
Sebagaimana LPEI, identifikasi risiko operasional TINS sebenarnya juga telah disampaikan oleh Pefindo ketika pertama kali menetapkan peringkat AA pada 2013 di mana peringkat TINS tersebut dibatasi salah satunya oleh faktor maraknya penambangan ilegal.
Hal ini terbukti telah memengaruhi kinerja TINS yang mengalami tren penurunan produksi dan penjualan logam timah dengan laju pertumbuhan tahunan majemuk atau compound annual growth rate (CAGR) berada di zona negatif dalam 5 tahun terakhir masing-masing sebesar 33,06% dan 32,11% menjadi 15,34 ribu MT dan 14,39 ribu MT di tahun 2023.
Akibatnya, pendapatan usaha mengalami tren penurunan menjadi Rp8,39 triliun di tahun 2023 dari Rp19,24 triliun di tahun 2019 dengan negatif CAGR sebesar 18,73% disamping mencatatkan rugi tahun berjalan sebesar Rp449,67 miliar di tahun 2023.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, praktik terbaik implementasi GCG yang fokus pada risiko utama sangatlah penting dilakukan dibandingkan mencoba mengatasi semua potensi risiko. Penulis berpendapat bahwa jika dari sejak awal hasil pemeringkatan dari lembaga pemeringkat yang independen ditindaklanjuti dengan mengoptimalkan pengawasan internal yang efektif pada risiko utama akan mampu melindungi kedua entitas usaha tersebut dari risiko terjadinya dugaan kasus tersebut.
Hal ini tidak terlepas dari tugas dan tanggung jawab audit internal untuk melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektifitas pada berbagai bidang termasuk akuntansi, keuangan, operasional serta prosedur dan kebijakan operasi yang dilakukan secara berkesinambungan.
Pemberian keyakinan dan konsultasi yang idependen dan objektif dari audit internal yang diamanatkan dalam POJK No. 56/POJK.04/2015 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan Piagam Unit Audit Internal perlu diimbangi dengan fungsi audit internal yang independen dan kerja sama yang efektif dengan komite audit.
Best Practice yang diperlukan di antaranya adalah koordinasi antara komite audit dan ketua internal audit tanpa kehadiran manajemen untuk membahas risiko utama, tukar informasi antara auditor internal dan auditor eksternal yang independen sepengetahuan komite audit, serta langkah intensif auditor internal atas peringatan event tertentu selain pemberian kompensasi yang sepadan berdasarkan kualitas layanan dari auditor internal.
Terakhir, implementasi praktik terbaik GCG di semua jejang organisasi perlu komitmen dan dedikasi penuh segenap insan dari entitas usaha disamping kepemimpinan yang efektif dan berintegritas. Governance and leadership are the yin and the yang of successful organisations. If you have leadership without governance you risk tyranny, fraud and personal fiefdoms. If you have governance without leadership you risk atrophy, bureaucracy and indifference – Mark Goyder, Director of Tomorrow’s Company.