Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) industri tekstil imbas revisi lartas impor yang merelaksasi komoditas tekstil.
Padahal, larangan dan pembatasan (lartas) impor yang mulai berlaku pada 10 Maret 2024 lalu telah meningkatkan produktivtias industri tekstil nasional setelah sebelumnya digempur produk asing.
Ketua Umum APSyFI Redma G. Wirawasta mengatakan keputusan relaksasi ini semakin menunjukan inkosistensi pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri khususnya industri garmen, industri kecil menengah, dan konveksi.
"Ini revisi menjadikan pengendalian impor tidak akan efektif karena semuanya sudah direlakasasi," kata Redma kepada Bisnis, Selasa (21/5/2024).
Relaksasi impor berawal lantaran terjadinya penumpukan sebanyak 17.304 kontainer di Pelabuhan Tanjung dan 9.111 di Pelabuhan Tanjung Perak, akhir pekan lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto akhirnya melepas ribuan komoditas impor tersebut lantaran dinilai menganggu rantai pasok industri manufaktur.
Baca Juga
Namun, melihat kondisi tersebut, Redma menilai dari ribuan kontainer yang tertahan tersebut, pihaknya meyakini 85% merupakan barang importir pedagang yang memiliki relasi dengan oknum Bea Cukai.
"Hanya 15% yang benar-benar untuk kepentingan industri manufaktur. Ini 26.000 kontainer yang terhambat memang sebagian besar importir nakal rekanan oknum Bea Cukai yang biasanya jual-beli kuota impor," tuturnya.
Sementara, 85% produk yang ada di kontainer tersebut justru mengganggu rantai pasok, karena merupakan barang-barang jadi yang akan membanjiri pasar domestik. Alhasil, rantai pasok industri hulu terganggu karena industri hilir kebanjiran produk asing.
Bahkan, dia menduga komoditas impor tekstil dan produk tekstil sekitar 50% ada di kontainer tersebut dan masuk ke dalam negeri tanpa lolos Persetujuan Impor (PI) dan Pertimbangan Teknis (Pertek).
Tak hanya itu, dia juga menduga bahwa barang impor di kontainer merupakan produk yang diimpor importir umum (API-U). Sementara, produk TPT yang diimpor API-U kebanyakan pakaian jadi dan kain-kain yang sudah diproduksi dalam negeri.
"Ini kalau banyak PHK lagi, Bu Sri Mulyani harus tanggung jawab, karena kinerja buruk Bea Cukai jadi beban bagi industri," imbuhnya.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani hanya memberikan tanggapan terkait komoditas utama yang ada di dalam ribuan kontainer beberapa waktu lalu.
"Utamanya besi baja dan produk turunannya, elektronik, dan bahan kimia untuk bahan baku/penolong," kata Askolani, dihubungi terpisah.