Bisnis.com, TANGERANG - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tak menutup kemungkinan target onstream atau produksi Blok Tuna akan molor hingga 2027. Hal ini menyusul belum selesainya proses divestasi ZN Asia Ltd di blok tersebut.
Adapun, Blok Tuna dioperatori oleh perusahaan asal Inggris, Premier Oil Tuna B.V. (Harbour Energy Group) dengan hak partisipasi 50%. Premier Oil bermitra dengan ZN Asia Ltd, anak usaha BUMN Rusia Zarubezhneft, yang juga memegang hak partisipasi 50%.
Adanya kemitraan dengan BUMN Rusia tersebut membuat Premier Oil mengalami kesulitan untuk merealisasikan rencana pengembangan Blok Tuna. Hal ini lantaran sanksi yang ditetapkan Uni Eropa dan pemerintah Inggris. Sanksi itu menjadi tindaklanjut dari sikap Uni Eropa dan pemerintah Inggris atas invasi Rusia ke Ukraina sejak awal tahun lalu.
Belakangan, ZN Asia memutuskan untuk hengkang dan saat ini tengah dalam proses mencari penggantinya.
Seiring dengan pencarian pengganti ZN Asia, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, pengembangan Blok Tuna saat ini mulai dikerjakan lagi oleh operator, Premier Oil.
“Operator ini kan operator, apapun terjadi dengan partnernya, dia punya kewajiban untuk menjalankan proyek itu. Jadi sekarang ini prosesnya masih jalan terus,” kata Dwi saat ditemui di ICE BSD, Selasa (14/5/2024) malam.
Baca Juga
Dwi menyampaikan bahwa Blok Tuna ditargetkan dapat berproduksi mulai tahun 2026. Akan tetapi, eks Dirut Pertamina ini melihat ada potensi jadwal produksi proyek mundur hingga 2027.
“Jadi kalau saya lihat, kalau 2026 mungkin masih bisa dikejar. Kalau misalkan geser ya 2027 lah,” ujarnya.
Proyek tersebut awalnya direncanakan mulai masuk ke tahap front end engineering design (FEED) segera setelah rencana pengembangan pertama Blok Tuna disetujui pemerintah Indonesia pada Desember 2022. Namun, adanya kendala terkait kemitraan dengan BUMN Rusia itu, FEED diperkirakan mundur pada tahun ini.
Sebelumnya, Harbour Energy memperkirakan keputusan akhir investasi atau final investment decision (FID) untuk pengembangan Blok Tuna kemungkinan baru ditetapkan pada 2025.
Adapun, Blok Tuna diperkirakan memiliki potensi gas di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMscfd). Investasi pengembangan lapangan hingga tahap operasional ditaksir mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun.
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar, dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.
Untuk mendorong keekonomian, pemerintah memberikan beberapa insentif dengan asumsi masa produksi sampai 2035 atau 11 tahun mendatang. Pemerintah mengambil bagian gross revenue sebesar US$1,24 miliar atau setara dengan Rp18,4 triliun.
Adapun, kontraktor gross revenue sebesar US$773 juta atau setara dengan Rp11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$3,315 miliar. Rencananya hasil produksi gas dari Lapangan Tuna bakal diekspor ke Vietnam pada 2026