Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai penanganan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus lebih proper dan akuntabel ke depannya, seiring adanya prediksi bahwa defisit anggaran lebih lebar lantaran adanya berbagai program populis seperti makan siang gratis.
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menyampaikan, ruang fiskal neraca keuangan sangat terbatas, karena untuk 2024 ini perkiraan defisit mencapai sekitar Rp500 triliun atau setara hampir 2,8%. Perkiraan tersebut dengan asumsi nilai tukar Rupiah di kisaran 15.000 terhadap US Dolar dan harga minyak US$82 per barel.
Jika ada perubahan asumsi makro terhadap nilai tukar Rupiah, menurut Ajib neraca keuangan akan kembali mengalami tekanan lantaran sebagian hutang dalam bentuk valas.
“Dengan ruang terbatas tersebut, penanganan APBN harus lebih proper dan akuntabel,” kata Ajib kepada Bisnis, Selasa (7/5/2024).
Adapun, IMF dan OECD memperkirakan defisit anggaran di 2025 akan lebih menantang di mana defisit fiskal diramal 2,7% terhadap PDB lantaran adanya program-program bansos seperti makan siang gratis.
Program ini akan menjadi program 100 hari pertama saat Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Baca Juga
Menurutnya, yang paling logis adalah melakukan program tersebut secara bertahap. Pasalnya, jika program tersebut dijalankan sesuai rencana awal, maka setidaknya membutuhkan alokasi sekitar Rp400 triliun per tahun.
“Harus ada penyesuaian khusus yang dilakukan agar APBN 2025 tidak terkontraksi,” ujarnya.
Untuk menyehatkan APBN, Ajib menyebut bahwa pemerintah perlu menjaga penerimaan tetap aman dengan mengendalikan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Menurutnya, pembentukan Badan Penerimaan Negara menjadi krusial lantaran akan mendorong regulasi komprehensif optimalisasi penerimaan.
Selain pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), hal lain yang perlu lebih dioptimalkan yakni penerimaan dividen BUMN.
“Badan penerimaan ini harus mempunyai tim task force khusus yang beranggotakan para teknokrat untuk melakukan efisiensi dan privatisasi BUMN, tetapi tetap kolaboratif dengan private sector,” pungkasnya.