Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investasi Properti di Asia Pasifik Naik 13% pada Kuartal I/2024

Asia Pasifik menjadi satu-satunya wilayah di seluruh dunia yang mengalami pertumbuhan investasi real estat komersial pada kuartal I/2024
Proyek apartemen mewah The Corniche yang dikembangkan Logan Group Co. dan KWG Group Holdings Ltd., di Hong Kong - Bloomberg.
Proyek apartemen mewah The Corniche yang dikembangkan Logan Group Co. dan KWG Group Holdings Ltd., di Hong Kong - Bloomberg.

Bisnis.com, JAKARTA - Konsultan Properti Jones Lang LaSalle (JLL) mencatat pertumbuhan investasi properti di wilayah Asia Pasifik tumbuh sebesar 13% secara tahunan (year-on-year/yoy) sepanjang kuartal I/2024.

CEO Asia Pacific Capital Markets JLL Stuart Crow menuturkan, Asia Pasifik menjadi satu-satunya wilayah di seluruh dunia yang mengalami pertumbuhan investasi real estat komersial pada kuartal pertama 2024, dengan volume investasi mencapai US$30,5 miliar atau Rp494,97 triliun (asumsi kurs Rp16.228 per US$).

Pertumbuhan investasi pada sektor properti tersebut lantas menandai kenaikan untuk kedua kalinya secara tahunan setelah posisinya sempat mengalami penurunan selama 7 kuartal berturut-turut.

"Peningkatan volume investasi terjadi di tengah akuisisi secara besar-besaran oleh investor global, sementara investor institusional melanjutkan penanaman modal," jelas Stuart dalam laporan yang ditulis JLL, dikutip Senin (29/4/2024).

Sementara itu, kawasan Asia Utara memimpin pertumbuhan di Asia Pasifik, di mana Jepang menjadi pasar teraktif di Asia Pasifik dengan volume investasi sebesar US$11,5 miliar atau sekitar Rp186,57 triliun, naik 29% yoy. 

Adapun, pasar properti Jepang masih ditopang oleh pembeli domestik. Sementara para pemodal asing banyak menaruh minat properti di Jepang melalui akuisisi skala besar di sektor perkantoran, logistik dan industri, didorong oleh kondisi keuangan yang leluasa, selisih imbal hasil yang positif, dan mata uang yang lemah.

Sementara itu, Korea Selatan menjaring investasi sebesar US$4,3 miliar atau sekitar Rp69,76 triliun, meningkat 73% secara tahunan (yoy). Sektor perkantoran mendominasi investasi berkat fondasi yang stabil, tingkat ketidakterisian yang rendah, dan permintaan sewa yang kuat. 

Selanjutnya, Singapura mencetak investasi sebesar US$2,2 miliar atau Rp35,69 triliun atau tumbuh sebesar 14% yoy berkat alokasi modal ke aset-aset ritel yang memiliki prospek sewa positif dan sebaran hasil investasi yang menguntungkan.

"Kuartal pertama mencerminkan berlanjutnya minat para investor di tengah fondasi ekonomi Asia Pasifik yang kuat dan peluang harga yang menarik di pasar serta kelas aset yang beragam. Kami melihat meningkatnya minat dari investor lokal maupun luar negeri terhadap berbagai profil risiko," tambah Stuart.

Khusus untuk sektor perkantoran, di seluruh kawasan Asia Pasifik bisnis ruang perkantoran masih menjadi yang paling aktif meskipun volume investasi mengalami penurunan tipis sebesar 1% yoy menjadi US$12,6 miliar atau Rp204,38 triliun.

Sektor logistik dan industri serta sektor ritel juga masing-masing mencatat pertumbuhan. Sektor logistik dan industri mencetak investasi sebesar US$7,8 miliar tumbuh 36% yoy, sedangkan sektor ritel tumbuh 8% menjadi US$5,7 miliar . 

Selain itu, sektor lintas batas seperti logistik dan industri, ritel, dan hunian membukukan pertumbuhan secara tahunan meski dibayangi sentimen ketidakpastian harga yang menyebabkan pertumbuhan aktivitas lintas batas cenderung moderat.

Adapun, sejumlah negara utama di kawasan Asia Pasifik lainnya seperti Australia mencatat volume investasi sebesar US$3,0 miliar (Rp48,66 triliun), China sebesar US$5,6 miliar (Rp90,83 triliun), dan Hong Kong sebesar US$0,7 miliar (Rp11,35 miliar). Angka-angka tersebut menunjukkan penurunan dibanding tahun sebelumnya.

Australia dan China mengalami penurunan sebesar 19% yoy, sedangkan Hong Kong mencatat penurunan sebesar 54% yoy.

Head of Investor Intelligence Asia Pasifik JLL Pamela Ambler menuturkan, ketidakpastian suku bunga terus memengaruhi aktivitas investasi di Asia Pasifik. Namun, pihaknya mulai melihat pemulihan pada tahun 2024.

"Sentimen terus dipengaruhi oleh ekonomi AS yang kuat meskipun suku bunga dasarnya tinggi, yang berarti penurunan suku bunga mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat. Ke depannya, kami berharap aktivitas investasi akan terus menguat seiring re-pricing dalam perdagangan, dan investor menyesuaikan kembali portofolio dan strategi mereka dengan tingkat suku bunga saat ini." pungkas Pamela.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper