Bisnis.com, JAKARTA — Krisis geopolitik yang semakin memanas di Timur Tengah, seiring dengan serangan Iran terhadap Israel, dikhawatirkan mengancam pemulihan perekonomian global, termasuk Indonesia.
Krisis terjadi setelah Iran melakukan misi balasan dengan meluncurkan pesawat nirawak atau drone dan rudal ke ke Israel pada Sabtu (13/4/2024). Serangan ini merupakan babak baru dalam konflik di Timur Tengah, di mana Iran akhirnya turun langsung menyerang Israel.
Tercatat, selama ini konflik antara Iran dan Israel berjalan secara tidak langsung. Iran melibatkan proksi militernya seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman, untuk menekan musuh-musuhnya, salah satunya Israel.
Namun Iran terpaksa turun ke gelanggang setelah pesawat tempur Israel secara sepihak menyerang kantor kedutaan besar Iran di Damaskus, Suriah. Serangan Israel terhadap pihak Iran di Suriah sejatinya bukan yang pertama, di mana, serangan Israel pada awal April lalu itu membuat Iran berang.
Lantas, bagaimana serangan Iran ke Israel dapat berimbas terhadap perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Apalagi, jika konflik ini berlarut-larut?
1. Komoditas Minyak Mentah Mendidih
Respons Iran, atas serangan di kompleks kedutaan besarnya di Damaskus, dengan mengirimkan rudal-rudalnya ke Tel Aviv, menyebabkan harga minyak mentah memanas. Pada Sabtu (13/4/2024), harga minyak mentah Brent naik 71 sen menjadi $90,45 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 64 sen menjadi $85,66 per barel.
Baca Juga
Sebagai informasi, harga minyak WTI sudah naik 20% secara year to date seiring dengan pemulihan ekonomi AS yang tertatih-tatih dan krisis geopolitik yang terus memanas dan bahkan meluas di Timur Tengah.
Kenaikan komoditas energi juga mendorong saham-saham sektor energi dalam Indeks S&P 500 melonjak 17% sepanjang 2024 dan menjadikannya sebagai indeks dengan kinerja paling cemerlang dalam sebulan terakhir.
Di Indonesia, saham emiten-emiten sektor energi pun diprediksi ikut terangkat pada pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia pada Selasa (16/4/2024) setelah libur panjang Ramadan.
Meski demikian, kenaikan harga minyak mentah ini punya dampak berantai berikutnya, yaitu inflasi global, yang mau tidak mau bisa berdampak ke Tanah Air.
2. Ancaman Tekanan Inflasi
Kenaikan harga komoditas minyak mentah dapat berimbas pada kenaikan inflasi. Ekonomi AS sendiri bahkan hampir jatuh dalam jurang resesi akibat inflasi.
Sebagai informasi, laju inflasi di AS pada Maret 2024 tercatat 3,5%, naik dari periode Februari sebesar 3,2% secara year on year. Adapun, pada Januari 2024, inflasi AS tercatat 3,1%. Sementara itu, tingkat pengangguran di AS pada Maret tercatat 3,8%, dari Februari sebesar 3,9% dan Januari 3,7%.
Sebagai catatan, inflasi di AS mulai mendingin, dari 7% pada 2021 menjadi 6,5% pada 2022 dan kemudian turun lagi menjadi 3,4% pada 2023. Namun, jika merujuk pada data inflasi AS sepanjang 2013—2020 yang berkisar 0,7% hingga 2,3%, tentu saja inflasi 2023 belum cukup ideal.
Persoalannya adalah inflasi di AS sepanjang 2024 terus memanas dan belum mereda seperti yang diharapkan. Inflasi AS, terutama dipicu oleh kenaikan komoditas energi akibat krisis geopolitik Rusia-Ukrainia.
Tak heran jika Gubernur The Fed Jerome Powell, dalam pidatonya usai rapat FOMC, masih mempertahankan suku bunga. Federal Reserve (The Fed) tercatat mempertahankan suku bunga atau Fed Funds Rate (FFR) pada kisaran 5,25%—5,5%, yang bertahan sejak Juli 2023.
Powell memang sempat memberikan sinyal positif berupa ruang penurunan suku bunga pada akhir 2024. Namun, krisis Iran-Israel ini tentu dikhawatirkan dapat kembali menutup ruang penurunan suku bunga. Akibatnya, rezim suku bunga tinggi terancam bertengger lebih lama dari ekspektasi sebelumnya.
Berlarut-larutnya rezim suku bunga tinggi di AS tentu memberikan efek berantai ke perekonomian dunia dan tentu saja Indonesia.
3. Rezim Suku Bunga Tinggi Berkepanjangan
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 Maret 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%. Suku bunga BI Rate tersebut tidak berubah sejak Oktober 2023.
Keputusan mempertahankan BI Rate pada level 6% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability, yaitu untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.
Kebijakan otoritas moneter RI tersebut sejalan dengan kebijakan Federal Reserve (The Fed) untuk mempertahankan suku bunga atau Fed Funds Rate (FFR) pada kisaran 5,25%—5,5%, yang bertahan sejak Juli 2023.
Apabila krisis Iran-Israel ini berkepanjangan, maka harapan atas penurunan suku bunga BI Rate dapat tersandera karena The Fed ternyata tidak kunjung menurunkan suku bunga.