Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengungkapkan pihaknya akan mengkomunikasikan terkait implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 12% per 2025 kepada pemerintah baru.
Seperti diketahui, pada 20 Maret 2023, Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang baru per Oktober mendatang.
Suryo menegaskan dalam implementasi kebijakan tersebut, butuh etika atau sopan santun alias fatsun politik.
“Berkenaan dengan adanya transisi pemerintahan, oleh karena itu perlu fatsun politik untuk mengkomunikasikan terkait dengan tarif PPN 12% ini,” tuturnya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Senin (25/3/2024).
Di sisi lain, Suryo terus melihat dan mengkaji kondisi ekonomi di Tanah Air yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan PPN ini ke depannya.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penerapan PPN 12% paling lambat pada 1 Januari 2025 atau tersisa waktu sekitar Sembilan bulan lagi.
Baca Juga
Lebih lanjut, tarif PPN tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
“Jadi betul-betul kami masih menunggu kira-kira perkembangannya akan seperti apa di diskusi berikutnya,” ujarnya.
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga akan menghormati keputusan pemerintah baru terkait PPN ini.
Apabila keinginan pemerintahan baru yang nantinya dipimpin oleh Petahana Menteri Pertahanan tersebut, APBN nantinya akan menyesuaikan.
“Jadi kalau [pemerintahan baru] PPN-nya tetap 11%, ya pasti nanti disesuaikan target penerimaannya dengan UU HPP, nanti akan dibahas,” ungkapnya dalam Rapat Kerja Komisi XI dengan Kementerian Keuangan, Selasa (19/3/2024).
Ekonom pun telah mewanti-wanti terkait rencana kenaikan PPN sebesar 1% ini. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Ahmad Akbar Susamto melihat pada dasarnya kelas menengah cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi barang dan jasa.
Pasalnya dengan kenaikan PPN, biaya tambahan yang harus dibayar untuk pembelian barang dan jasa akan meningkat.
Tanpa adanya kenaikan pendapatan, masyarakat kelas menengah berpotensi mengubah gaya hidupnya dengan mengurangi pembelian barang-barang non-esensial atau mencari alternatif yang lebih murah.
Alhasil, hal ini dapat mempengaruhi industri tertentu, seperti pariwisata atau hiburan, yang mungkin mengalami penurunan permintaan dari konsumen kelas menengah.
“Ini dapat mengurangi daya beli kelas menengah, memaksa mereka untuk mempersempit pengeluaran atau mengubah pola konsumsi mereka,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (12/3/2024).