Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Sentral Turki Kerek Suku Bunga hingga 50%, Buntut Lonjakan Inflasi 70%

Bank Sentral Turki mengerek suku bunga acuan menjadi 50% dari sebelumnya 45% karena merespons lonjakan inflasi.
Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Devlet Bahceli, pemimpin Partai Gerakan Nasionalis (MHP), mengunjungi Antakya di Provinsi Hatay, Turki 20 Februari 2023. Murat Cetinmuhurdar/Presidential Press Office/Handout via REUTERS
Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Devlet Bahceli, pemimpin Partai Gerakan Nasionalis (MHP), mengunjungi Antakya di Provinsi Hatay, Turki 20 Februari 2023. Murat Cetinmuhurdar/Presidential Press Office/Handout via REUTERS

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Sentral Turki mengerek suku bunga acuan menjadi 50% dari sebelumnya 45% karena merespons lonjakan inflasi inti yang menembus angka 70% jelang Pemilu. 

Peningkatan ini terjadi setelah jeda pada bulan lalu yang membuat para ahli yakin penahanan suku bunga akan menyusul. Namun inflasi kronis masih berlanjut.

Bank sentral Turki secara tak terduga menaikkan suku bunga utamanya karena negara tersebut terus berusaha mengendalikan inflasi yang melonjak.

Bank Sentral Turki mengatakan pada hari Kamis (21/3/2024) bahwa mereka telah menaikkan suku bunga kebijakan (atau tingkat lelang repo satu minggu) menjadi 50%, naik dari 45%, karena inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Februari.

“Sementara impor barang konsumsi dan emas melambat dan berkontribusi pada perbaikan neraca transaksi berjalan, indikator-indikator terbaru lainnya menyiratkan bahwa permintaan domestik tetap tangguh,” kata bank tersebut dalam siaran persnya, mengutip Euronews.

Bank juga menimbang fktor inflasi jasa, ekspektasi inflasi, risiko geopolitik, dan harga pangan untuk menjaga tekanan inflasi mereda.

Bank tersebut mengatakan bahwa keputusan untuk mulai menaikkan suku bunga lagi – setelah jeda singkat bulan lalu yang menyebabkan analis pasar percaya bahwa suku bunga akan ditahan lagi – terjadi sebagai respons terhadap “memburuknya prospek inflasi”.

Memang benar, inflasi masih merajalela di Turki. Indeks harga konsumen inti naik sebesar 72,89% pada bulan Februari 2024 dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2023. Sementara itu, inflasi tahunan terakhir tercatat hampir 70% pada bulan Februari, yang merupakan angka tertinggi dalam 15 bulan terakhir.

“Sikap moneter yang ketat akan dipertahankan sampai penurunan signifikan dan berkelanjutan dalam tren inflasi bulanan terlihat, dan ekspektasi inflasi menyatu dengan kisaran perkiraan yang diproyeksikan,” kata bank sentral tersebut, seraya menambahkan bahwa pihaknya memperkirakan peluang disinflasi pada paruh kedua tahun 2024.

Keputusan tersebut menandai kenaikan suku bunga pertama di bawah arahan gubernur bank sentral baru, Fatih Karahan.

Presiden Recep Tayyip Erdogan menunjuk Karahan sebagai gubernur bank sentral yang baru pada bulan Februari 2024, menggantikan Hafize Gaye Erkan, yang mengundurkan diri di tengah tuduhan nepotisme yang diberitakan di media lokal.

Erkan, gubernur perempuan pertama Turki dan mantan eksekutif bank yang berbasis di AS, membantah keras tuduhan tersebut.

Selama masa jabatan Erkan, bank tersebut menaikkan suku bunga acuan secara signifikan dari 8,5% pada bulan Juni 2023 menjadi 45% pada bulan Januari 2024.

Turki telah menderita inflasi kronis akibat kebijakan Erdogan yang tidak lazim selama bertahun-tahun. Namun, Karahan mengatakan bahwa mengendalikan inflasi adalah prioritas utamanya, dan berjanji akan menaikkan suku bunga lebih lanjut jika inflasi melonjak.

Liam Peach, ekonom Capital Market London, menyampaikan komunikasi hawkish bank sentral membuka kemungkinan kenaikan suku bunga lagi di bulan April. Dengan potensi laju depresiasi lira yang lebih cepat setelah Pemilu di akhir bulan ini dan angka inflasi yang kuat baru-baru ini kemungkinan akan terus berlanjut.

"Kami sekarang memperkirakan setidaknya kenaikan 250 basis poin bulan depan," paparnya, mengutip Reuters.

Stuart Cole, Chief Economist Equiti Capital London, menambahkan Inflasi yang mendekati 70% dan jatuhnya lira mungkin memaksa bank sentral untuk mengambil tindakan ini, meskipun beberapa bulan yang lalu bank sentral mengatakan bahwa mereka telah menyelesaikan siklus pengetatannya.

“Mungkin yang juga menjadi perhatian bank sentral adalah Pemilu yang akan datang. Lira turun sekitar 6%/7% setelah pemilihan presiden tahun lalu dan mungkin khawatir akan terjadinya hal serupa pada bulan ini."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hafiyyan
Editor : Hafiyyan
Sumber : Reuters, Euronews
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper