Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Rapor Tax Ratio Era Jokowi, Mampukah Prabowo 'Oke Gas' ke 16%?

Simak capaian rapor rasio perpajakan di era Presiden Jokowi. Mampukan Prabowo capai target tax ratio ke level 16%?
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menghadiri Rapim TNI-Polri dan menerima pangkat secara istimewa dari Presiden Joko Widodo di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Jakarta, Rabu (28/2/2024)/Kementerian Pertahanan
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menghadiri Rapim TNI-Polri dan menerima pangkat secara istimewa dari Presiden Joko Widodo di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Jakarta, Rabu (28/2/2024)/Kementerian Pertahanan

Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan lengser dari kursi RI 1 pada Oktober 2024. Meski hampir 10 tahun berkuasa, rasio pajak Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax-to-GDP ratio terpantau mandek tak lebih dari 11%.  

Dalam satu dekade pemerintahannya, rasio perpajakan atau yang dikenal dengan istilah tax ratio di era Presiden Jokowi justru melandai dari masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).  

Melihat data historis tax-to-GDP ratio yang diunggah Kementerian Keuangan, pemerintahan pertama Jokowi pada 2015 mencatatkan rasio perpajakan sebesar 10,76% terhadap PDB. Turun dari 2014 yang sebesar 10,85%.  

Tren penurunan berlanjut hingga 2017 ke angka 9,89%, kemudian naik ke angka 10,24% pada 2018. Kenaikan tersebut juga hanya bersifat temporer. Rasio pajak lagi-lagi terjun ke level 8,33% pada 2020, bahkan menjadi capaian terendah dalam dua era kepemimpinan. 

Kala itu, pandemi Covid-19 menjadi alasan merosotnya rasio pajak, seiring dengan rontoknya ekonomi Tanah Air. Perlahan rasio pajak meningkat dengan langkah pemerintah dalam menerapkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 2022.  

Alhasil, tax ratio melesat ke 10,39%. Bila tak ada PPS, Kementerian Keuangan mencatat rasio perpajakan Indonesia kala itu hanya mencapai 10,08%. 

Sepanjang 2022 dan 2023 rasio pajak terjaga di atas 10% karena adanya durian runtuh dari melambungnya harga komoditas global. Indonesia ketiban ‘rejeki nomplok’ dengan penerimaan negara yang naik signifikan hingga 31,09% (year-on-year/yoy) pada 2022 dan masih mampu tumbuh 5,25% pada 2023. 

Mirisnya, hal tersebut tak ikut mengerek rasio pajak untuk naik lebih tinggi. Padahal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 tax ratio dipatok sebesar 10,7%-12,3% terhadap PDB. 

Berbeda dengan era SBY ketika terjadi booming komoditas yang bertepatan dengan krisis global pada 2008, rasio pajak langsung terkerek naik dan menjadi capaian tertinggi ke angka 13,31%. 

Meski demikian, Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menyentil pada dua dekade dengan dua orang presiden, rasio pajak justru malah turun. 

“Era pemerintahan SBY dan era Jokowi ‘berhasil’ menurunkan rasio pajak dalam definisi yang mana pun,” ujarnya dalam akun X @AwalilRizky, dikutip Rabu (6/3/2024).  

Reformasi Perpajakan

Masa kedua pemerintahan Jokowi masih berusaha mengerek indikator tersebut dengan melakukan sejumlah cara, seperti pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta implementasi reformasi peerpajakn dengan core tax system administration (CTAS). 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah berhasil memadankan 61,52 juta NIK sehingga terintegrasi dengan NPWP. Pemerintah akan menggunakan NIK sebagai NPWP mulai 1 Juli 2024, bersamaan dengan CTAS. 

Target RPJMN tampaknya hanya menjadi harapan belaka. Anggota Komisi XI DPR Misbakhun melihat perlu usaha ekstra untuk mencapai target tersebut, salah satunya dengan implementasi reformasi perpajakan.  

Hal yang kemudian juga menjadi masalah, Misbakhun melihat untuk negara dapat aktif, perlu teknologi penyederhanaan pelaporan pajak.   

“Mengaktifkan peran negara harus dengan teknologi. [wajib pajak] harus dipaksa patuh dengan teknologi. Apakah saat ini pajak bisa meng-capture sistem perbankan? Kita hanya punya dapat akses manual seperti saldo, bagaimana dengan aktivitasnya? Itu yang jadi persoalan,” ungkapnya. 

Sementara itu, Kementerian Keuangan menargetkan implementasi dari core tax administration system (CTAS) atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) pada pertengahan 2024. 

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi menyampaikan projek yang telah berjalan selama tiga tahun tersebut akan selesai pada pertengahan tahun depan, dan akan diterapkan pada semester awal II/2023. 

“InsyaAllah pada pertengahan tahun depan projek PSIAP selesai dan bisa diimplementasikan. Sementara diproyeksikan 1 Juli 2024,” tuturnya dalam Media Gathering DJP di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (25/10/2023). 

Iwan menjelaskan, saat ini projek tersebut tengah dalam proses percobaan atau testing. Tercatat hingga saat ini sudah terdapat 48.000 case yang diuji. Sementara pengujian step test telah mencapai sekitar satu juta tes. 

Meski implementasi tersebut mundur dari target awal Mei 2024, Iwan mengklaim proses reformasi perpajakan ini tergolong lebih cepat dari negara lain.  

Dia memberi contoh Finlandia dan Australia yang membutuhkan waktu 7-10 tahun, sementara Prancis perlu waktu 9 tahun untuk melakukan reformasi perpajakannya. Jika berhasil terimplementasi pertengahan tahun depan, artinya Indonesia hanya butuh waktu 6 tahun. 

“Kita termasuk cepat, dari 2018 mulai perencanaan sampai 2024, 6 tahun. Bukan karena kita hebat, karena memang teknologi untuk bisa seperti itu,” lanjut Iwan. 

Dari sisi efisiensi, Iwan juga mengklaim projek tersebut sangat efisien. Dari alokasi senilai Rp3 triliun, anggaran yang terserap kurang dari Rp2 triliun, mengingat waktu yang lebih singkat pula dalam prosesnya. Pada 2022, dalam Laporan Kinerja DJP tercatat anggaran yang terserap untuk CTAS sejumlah Rp413,3 miliar. 

Menkeu Sri Mulyani dan Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam Rapat Pimpinan Nasional II Direktorat Jenderal Pajak, Rabu (12/7/2023). Dok Instagram @smindrawati.
Menkeu Sri Mulyani dan Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam Rapat Pimpinan Nasional II Direktorat Jenderal Pajak, Rabu (12/7/2023). Dok Instagram @smindrawati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper