Bisnis.com, JAKARTA - Hasil riset Continuum Institute for Devolpment of Economic and Finance (Indef) menunjukkan bahwa lebih dari 99% warganet di media sosial mengeluhkan kenaikan harga bahan pokok yang terjadi belakangan ini.
Analis Data Continuum Indef, Wahyu Tri Utomo mengatakan hasil riset yang dilakukan sejak 29 Februari - 4 Maret 2024 terdapat 74.817 perbincangan oleh 67.579 pengguna terkait dengan kenaikan harga pangan di media sosial. Perbincangan tersebut didominasi dari media sosial X atau Twitter.
"Dari 74.817 perbincangan ini, ditemukan lebih dari 99% masyarakat mengeluhkan kenaikan harga bahan pokok ini," ujar Wahyu dalam diskusi publik Indef secara virtual, Selasa (5/3/2024).
Lebih lanjut, Wahyu menyebut bahwa kenaikan harga komoditas beras menjadi yang paling banyak diresahkan oleh warganet. Sebanyak 71% dari pengguna media sosial sepakat bahwa kenaikan harga beras menjadi yang paling meresahkan.
Musababnya, beras dianggap sebagai kebutuhan pokok. Kenaikan harga beras dipastikan bakal berdampak pada pergerakan harga komoditas lainnya. Selain itu, 19,2% lainnya mengeluhkan kenaikan harga telur dan 8,5% mengeluhkan kenaikan harga daging ayam.
"Keresahan ini berisikan rasa iba, terutama terhadap kalangan menengah ke bawah yang terdampak langsung dari kenaikan harga beras ini. Ada juga keresahan mereka karena simpangsiur harga beras dunia, faktanya harga di sini terus melambung tinggi," tuturnya.
Baca Juga
Sementara itu, Ekonom Senior Indef Aviliani mengatakan, kenaikan harga beras pada Februari 2024 mencapai 18,41% secara year-on-year (YoY). Di sisi lain, kenaikan upah minimum tidak sampai dua digit. Kondisi itu membuat masyarakat semakin resah dengan kenaikan harga bahan pokok beras.
"Jadi memang jujur saja, kalau kita perhatikan kenaikan pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, makanya orang yang tadinya kelas menengah bisa jadi hampir miskin, orang hampir miskin jadi orang miskin," kata Aviliani.
Adapun dia membeberkan sejumlah faktor yang menyebabkan harga pangan melonjak signifikan. Adanya Pemilu dianggap telah mengakselerasi peningkatan permintaan pangan.
Musababnya, selain ada program bantuan pangan atau bantuan sosial (bansos), para calon legislatif yang mengikuti kontestasi Pemilu juga membagikan sembako berupa beras.
"Ini Pilkada juga harus diantisipasi, jangan-jangan banyak yang membutuhkan sembako untuk dibagi-bagi," tuturnya.
Selain itu, Aviliani juga menyebut perubahan iklim dan El-Nino menimbulkan gagal panen dan penurunan produksi pangan sehingga mempengaruhi kenaikan harga. Apalagi, rantai distribusi pangan di Indonesia juga dianggap terlalu panjang sehingga banyak tengkulak atau spekulan yang memanfaatkan kondisi stok yang terbatas untuk mengeruk keuntungan.
"Tengkulak spekulan banyak yang bermain, karena katanya kalau nyimpen barang di pasar beberapa hari saja untungnya sudah berkali-kali lipat," ungkapnya.
Lonjakan permintaan jelang Ramadan dan Idulfitri dianggap menjadi siklus tahunan. Oleh karena itu, dia menekankan agar pemerintah seharusnya telah memiliki kebijakan yang antisipatif untuk menghadapi kondisi serupa.
"Ini selalu terjadi maka kebijakan sudah harus berubah," ucapnya.