Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) ungkap sejumlah faktor yang memicu penurunan impor bahan baku penolong di Januari 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, impor bahan baku penolong pada Januari 2024 menurun 3,04% secara tahunan menjadi US$13,48 miliar.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag Kasan menyampaikan, turunnya permintaan domestik dan harga komoditas impor memengaruhi penurunan impor bahan baku penolong.
“Penurunan impor bahan baku penolong dipengaruhi oleh penurunan permintaan domestik dan penurunan harga komoditas impor,” kata Kasan kepada Bisnis.com, Kamis (15/2/2024).
Kondisi ini juga disebabkan oleh pola musiman. Kasan menuturkan, siklus impor di awal tahun terjadi penurunan akibat masih tersedianya pasokan atau stok di akhir tahun sebelumnya.
Adapun dia menyebut beberapa bahan baku penolong yang mengalami penurunan, antara lain bahan bakar bensin RON 90, batu bara bitumen, minyak bumi mentah, hingga gula tebu.
Menyikapi penurunan impor bahan baku, pemerintah tengah menyiapkan sistem perizinan elektronik yang terintegrasi dan lebih efisien. Di sisi lain, lanjut Kasan, pemerintah akan segera mengimplementasikan kebijakan dan pengaturan impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 pada Maret 2024.
Baca Juga
“Pemerintah juga mendorong substitusi impor bahan baku penolong,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai, penurunan impor bahan baku penolong disebabkan oleh regulasi restriksi terhadap impor bahan baku penolong.
Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.46/2023 sebagai perubahan PP No. 28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian.
Hadirnya aturan ini membuat pelaku usaha sukar merealisasikan impor bahan baku sesuai dengan kebutuhan perusahaan. “Bukan karena kami tidak butuh impor. Ini sudah menjadi isu bersama di sektor manufaktur sejak tahun lalu,” kata Shinta, Kamis (15/2/2024).
Dia optimistis kinerja impor akan lebih merepresentasikan kecepatan pertumbuhan kinerja produksi jangka pendek, utamanya di sektor manufaktur, jika regulasi itu dicabut.