Bisnis.com, JAKARTA - Pusat perbelanjaan bawah tanah pertama di Indonesia yakni mal Blok M sepi pengunjung termakan zaman. Padahal, mal legendaris ini pernah menjadi pusat belanja bergengsi pada masanya.
Berdasarkan pantauan Bisnis, Selasa (13/2/2024), mal legendaris yang dibuka pada 3 Oktober 1992 itu tampak amat sepi dan tidak terawat.
Bak menyusuri lorong waktu, saat menapaki anak tangga area basement, suasana khas 90-an kental terasa. Kondisi mal yang redup dan kusam menambah kesan usang mal ini.
Tidak banyak pengunjung yang terlihat. Bahkan, gerai-gerai kios hampir seluruhnya tutup. Hanya tampak gerai pakaian bekas yang masih bertahan.
Andi (32) salah satu penjual toko baju bekas di Blok M mal menjelaskan dalam sehari dirinya biasanya hanya menyambut sekitar 7 tamu hingga 10 tamu.
"Boro-boro [ramai], sampai ngantuk saya jaga tokonya. Paling sehari hanya 7 - 10 pengunjung," kata Andi saat ditemui, Selasa (13/2/2024).
Dia menyebut, omzet penjualannya juga anjlok. Dalam sehari, paling banyak dirinya hanya mampu mengantongi hasil penjualan sebesar Rp1 juta.
Walau terintegrasi dengan Stasiun MRT dan Halte Bus Transjakarta, mal ini tetap sepi pengunjung. Penyusuran hingga ujung lorong mal tidak menunjukkan suasana berbeda. Area parkir, ATM center, hingga bengkel kompak tak menunjukkan geliat penjualan yang optimal.
Meskipun mulai usang, kondisi konstruksi mal tetap kokoh. Area langit-langit mal masih tinggi menjulang dan sarat akan pesan bahwa mal ini sempat berjaya di tahun 90-an.
Sebagai informasi, Mal Blok M dikelola oleh anak usaha dari PT Indonesia Prima Property Tbk. (OMRE), PT Langgeng Ayomlestari.
Mal ini berada di sentra bisnis Jakarta Selatan itu memiliki luas lahan 3,5 hektare dan dibangun berdasarkan program kerjasama BOT (Build Operate Transfer) dengan Pemda DKI Jakarta.
Berdasarkan catatan Bisnis.com (13/2/2024), Mal Blok M terdiri dari 2 lantai basement yang dibangun dalam waktu dua tahun yakni Desember 1990 hingga September 1992 oleh arsitek Arkonin dan Accasia. Sementara itu, biaya pembangunannya menembus Rp80 miliar pada 1992.