Bisnis.com, JAKARTA- Industri pengolahan Nonmigas atau manufaktur masih menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional pada 2023. Namun, kontribusinya justru mengendur dibandingkan dengan sedekade terakhir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), manufaktur berkontribusi sebesar 19,70% secara kumulatif pada 2019 terhadap pertumbuhan ekonomi. Porsinya meningkat pada tahun 2020 yang mencapai 19,88%.
Sumbangsih manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mulai mengendur pada 2021 sebesar 19,25% seiring dengan tekanan berat situasi Covid-19. Pascapandemi, porsi manufaktur mulai pulih ke angka 18,34% pada 2022 dan tren pemulihan berlanjut pada 2023 dengan porsi 18,67%.
Berkaca pada kondisi sedekade silam, kontribusi sektor manufaktur atau industri pengolahan terus terpangkas. Pada periode 2013, misalnya, kontribusi industri pengolahan masih sekitar Rp2.152,6 triliun terhadap total PDB yang mencapai Rp9.084,0 triliun atas dasar harga berlaku.
Singkatnya, kontribusi industri pengolahan pada sedekade silam masih mencapai 23,6%. Sedangkan pada tahun sebelumnya, porsi sumbangsih sektor manufaktur berada pada level 23,9%.
Sebaliknya, struktur perekonomian nasional sejauh ini jauh lebih berkembang, dengan catatan total PDB tembus Rp20.892,4 triliun. Terdapat sektor lapangan usaha yang tumbuh melesat, seperti pertambangan dan penggalian, yang kini berkontribusi 10,52%, hingga sektor perdagangan besar reparasi mobil dan sepeda motor dengan sumbangsih 12,9%.
Baca Juga
Direktur Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan meski mulai mengalami pertumbuhan, proporsi manufaktur terhadap PDB masih kendur dibandingkan 5 tahun lalu.
Menurut dia, hilirisasi yang dibanggakan Presiden Joko Widodo tidak berkorelasi dengan pertumbuhan industri pengolahan.
"Kalau hilirisasi model begini terus didorong maka kita tidak bisa selamat dari yang namanya deindustrialisasi prematur," kata Bhima kepada Bisnis, Senin (5/2/2024).
Justru, dia melihat keanehan ketika hilirisasi nikel digenjot, tetapi produk turunan baja masih banyak diimpor. Impor besi dan baja membengkak untuk proyek-proyek infrastruktur.
Hal ini lantaran rantai pasok hilirisasi nikel tidak ideal. Adapun, produk olahan nikel seperti feronickel dan nickel pig iron (NPI) semestinya masuk ke industri stainless steel domestik. Sementara, 90% feronickel dan NPI langsung diekspor ke China.
"Tahun ini sampai beberapa tahun ke depan harga nikel anjlok oversupply termasuk produk turunannya, maka ancaman besar bagi kinerja industri kalau hanya dorong smelter," pungkasnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan prospek manufaktur 2024 masih menjadi sektor penyumbang terbesar PDB tahun ini.
"Kenyataan bahwa manufaktur masih menjadi kontributor terbesar terhadap PDB berdasarkan lapangan usaha seharusnya tidak menjadi hal yang surprising karena ini sudah terjadi lebih dari 30 tahun," terangnya.
Di sisi lain, tingkat pertumbuhan industri manufaktur berada di bawah pertumbuhan PDB dalam 10 tahun terakhir. Kondisi ini menjadi kekhawatiran pelaku usaha belakangan ini.
"Selama ini pelaku usaha dan analis ekonomi selalu menyampaikan kekhawatiran terkait adanya deindustrialisasi yang semakin cepat bila iklim usaha/investasi di sektor manufaktur tidak dibenahi," terangnya.