Bisnis, JAKARTA - Pemerintah mematok penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN senilai Rp666 triliun dalam APBN 2024. Namun ada risiko yang harus dihadapi untuk menarik minat publik pada tahun politik.
Target penerbitan SBN tahun ini meningkat hingga 115% dibandingkan dengan realisasi pada 2023 senilai Rp308 triliun.
Faktor risiko pada penerbitan SBN ini menjadi salah satu berita pilihan yang dirangkum dalam Top 5 News Bisnisindonesia.id edisi Selasa (30/1/2024). Berikut selengkapnya.
1. 1. Faktor Risiko Daya Pikat SBN
Kenaikan jumlah penerbitan SBN dinilai sebagai antisipasi terhadap pembengkakan belanja negara. Selain itu, target penerimaan pajak tahun ini sebesar 6% atau di bawah angka ilmiahnya, menjadi satu strategi pemerintah untuk mengamankan penerimaan.
Satu sisi, melonjaknya penerbitan SBN bukan tanpa risiko. Dengan tingkat suku bunga acuan yang masih tinggi, pemerintah perlu perlu menawarkan imbal hasil atau yield yang lebih menarik agar masyarakat berminat untuk menyerap instrument investasi tersebut.
Baca Juga
Dengan penawaran bunga yang lebih tinggi, tentu saja berpotensi membebani anggaran negara dari sisi pembayaran bunga ke investor.
Kalangan pengusaha menyambut positif kenaikan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tahun ini yang dipatok hingga Rp666 triliun di tengah sentimen Pemilu 2024.
2. Sederet Penopang Akselerasi Laju ACES
Kinerja keuangan PT Hardware Indonesia Tbk. (ACES) berpeluang terangkat tahun ini didorong oleh faktor pemilu yang kerap meningkatkan aktivitas konsumsi masyarakat, serta strategi omnichannel, ekspansi luar Jawa, dan peremajaan gerai perseroan.
Sejalan dengan itu, sahamnya pun banyak direkomendasikan beli oleh kalangan analis. Mengacu pada data Bloomberg, sebanyak 18 dari 25 analis yang memantau saham ACES memberikan rekomendasi beli, sedangkan 5 lainnya tahan, dan hanya 2 yang menyarankan jual.
Sentimen positif untuk saham ACES kembali bertambah setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (25/1/2024) lalu memutuskan untuk memasukkan saham ACES ke dalam jajaran emiten penghuni indeks IDX30.
Itu berarti, saham ACES akan makin banyak dibeli oleh manajer investasi yang merancang portfolio reksa dana mereka dengan mengacu pada indeks IDX30. Adapun, bobot ACES di indeks berkapitalisasi pasar Rp4.629,31 triliun itu adalah 0,35%.
3. Riuh Pajak Bahan Bakar Kendaraan dan Pajak Motor BBM
Riuh kenaikan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpotensi memicu kekisruhan, terlebih pada saat yang sama pemerintah juga berencana menaikkan pajak sepeda motor berbasis internal combustion engine (ICE) dan berbahan bakar minyak (BBM).
Kenaikan PBBKB dari 5% menjadi 10% yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikhawatirkan akan mengerek naik harga BBM, mengingat kenaikan pajak tersebut melekat pada harga bahan bakar kendaraan.
Sesuai dengan beleid yang berlaku sejak 5 Januari 2024 itu, khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan sebesar 50% lebih rendah dari kendaraan pribadi.
Seperti yang diungkapkan Saleh Abdurrahman, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, PBBKB merupakan salah satu komponen pembentuk harga eceran BBM nonsubsidi.
4. Opsi Penyesuaian HET Saat Kenaikan Harga Beras Tak Terbendung
Pemerintah membuka opsi penyesuaian harga eceran tertinggi (HET) beras seiring dengan terus meningginya harga beras di pasaran. Keseimbangan baru disebut memicu pilihan ini dibuka.
Deputi III Bidang Perekonomian, KSP, Edy Priyono menduga harga beras yang tidak kunjung turun dalam jangka panjang ini terjadi lantaran adanya keseimbangan harga baru.
Sebab, meskipun saat ini harga beras cenderung stabil, tapi masih jauh di atas HET yang ditetapkan. Istana menyoroti tren harga beras saat ini sudah tembus Rp14.000 per kilogram.
Padahal pemerintah dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No.7/2023 menetapkan HET beras medium di kisaran Rp10.900 - Rp11.800 per kilogram dan Rp13.900-Rp14.800 per kilogram untuk beras kualitas premium.
5. Nasib Evergrande Di Ambang Likuidasi
Perusahaan properti yang menjadi biang krisis keuangan di China, Evergrande Group, mendapat perintah untuk dilikuidasi di pengadilan Hong Kong.
Pengadilan yang dipimpin oleh Hakim Linda Chan memutuskan perusahaan itu selanjutnya akan dikelola oleh tim likuidasi untuk menyelesaikan tumpukan utang.
Perusahaan properti raksasa itu disebut memiliki utang setara 2,39 triliun yuan (US$333 miliar) atau setara Rp5.270 triliun (kurs dolar hari ini Rp15.826).
Awalnya, pengacara Evergrande meminta pengadilan agar memberikan waktu lebih panjang karena menurunnya likuidasi akan merugikan bisnis Evergrande dan para kreditur tidak akan mendapatkan uang mereka kembali.