Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom mengungkapkan pemerintah dapat mengurangi pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN), yang dipatok senilai Rp666 triliun pada 2024 untuk memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Target tersebut bahkan naik hingga 115% dari realisasi penerbitan SBN 2023 yang senilai Rp308 triliun.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede melihat seharusnya kebutuhan pembiayaan pemerintah tersebut dapat lebih rendah karena tersedianya Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Terlebih, buffer pemerintah semakin tebal dengan adanya SiLpa pada 2023 senilai Rp11,9 triliun.
“Masih adanya SAL pemerintah diperkirakan mampu menekan kebutuhan akan penerbitan SBN pada tahun ini,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (29/1/2024).
Bukan hanya itu, rencana pemerintah untuk memungut cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), seharusnya dapat menjadi subtitusi tambahan penerimaan negara atas risiko defisit dari penerimaan cukai hasil tembakau (CHT).
Baca Juga
Josua menjelaskan lebih lanjut, potensi defisitnya penerimaan negara juga berasal dari dampak ikutan kondisi ekonomi China yang diramalkan melambat pada 2024.
Sejalan dengan hal tersebut, kebutuhan belanja pemerintah terus meningkat. Mengingat adanya pesta demokrasi lima tahunan hingga pembangunan IKN.
“Kami perkirakan defisit pemerintah akan berkisar 2,00%-2,25% dari PDB,” ujar Josua.
Dari sisi permintan SBN, Josua berpandangan sejalan dengan ekspektasi penurunan suku bunga bank sentral global, permintaan dari sisi investor asing akan mampu meningkat pada pertengahan 2024, meskipun pada awal tahun permintaan ini masih akan cenderung terbatas.
Dengan demikian, terbatasnya investor asing ini akan menjadi potensi penekan pergerakan yield pada awal tahun ini. Namun demikian, dirinya perkirakan setidaknya pada paruh kedua mendatang, investor asing berpotensi melakukan aksi beli di pasar obligasi domestik, sejalan dengan peningkatan sentimen risk-on menjelang pemotongan suku bunga The Fed.
Rencananya, target penerbitan SBN akan dipenuhi melalui dua instrumen utama yaitu SUN dan SBSN baik dalam bentuk rupiah maupun valas dengan tenor 2-50 tahun dan SPN/S.
Pemerintah akan mengutamakan penerbitan SBN dalam bentuk rupiah di pasar domestik untuk mengendalikan risiko nilai tukar dan untuk mendukung pengembangan pasar keuangan domestik.
Penerbitan SBN akan dilakukan dalam bentuk Obligasi Negara Ritel (ORI), Sukuk Ritel (SR), Saving Bonds Ritel (SBR), dan Sukuk Tabungan (ST) dengan target ke investor institusi dan investor ritel.
Pemilihan instrumen dan tenor penerbitan akan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain kebijakan pengelolaan utang, biaya penerbitan SBN, risiko pasar keuangan domestik dan global, preferensi investor, dan kapasitas daya serap pasar.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah bahwa pemerintah harus cermat memilih waktu untuk menerbitkan SBN.
“Pemerintah harus menjadwalkan penerbitan SBN secara sangat baik agar sesuai dengan kondisi likuiditas pasar,” katanya.