Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak hiburan 40%-75% tidak hanya membuat pelaku usaha di sektor jasa kesenian dan hiburan resah, tapi juga masyarakat yang turut memanfaatkan jasa hiburan untuk sekedar melepas penat di tengah padatnya rutinitas.
Sebagai salah satu karyawan swasta di Jakarta, BCL (30), bukan nama sebenarnya, kerap menghabiskan waktu baik di karaoke ataupun kelab malam untuk sekedar rehat dari rutinitas pekerja Ibu Kota.
Rencana pemerintah untuk menetapkan pajak hiburan mendapat kritikan keras dari BCL. Alih-alih melakukan judicial review, dia meminta pemerintah untuk membatalkan regulasi tersebut.
“Jika niatnya ingin mencekik pelaku usaha, kenapa tidak sekalian usaha hiburan ditiadakan,” kata BCL kepada Bisnis, Minggu (28/1/2024).
Dia melihat aturan ini catat dan terlalu ‘gila’ dalam menarik pungutan pajak. Regulasi ini juga dinilai tidak memihak pada masyarakat secara luas, baik pelaku usaha maupun konsumen. Apalagi, baik pelaku usaha maupun konsumen sudah terbebani dengan pajak lainnya seperti PPN sebesar 11%.
Bila pada akhirnya aturan ini tetap diberlakukan, BCL memilih untuk beralih ke tempat hiburan lain yang lebih murah, misalnya ke tempat wisata alam di akhir pekan atau ke pusat perbelanjaan.
Baca Juga
Komentar senada juga diungkapkan oleh Aurel (26). Sebagai pekerja kantoran di DKI Jakarta, Aurel kerap mencari hiburan di kelab malam. Rencana kenaikan pajak hiburan tentu membuatnya keberatan. Pasalnya, masyarakat akan mencari hiburan yang sesuai dengan anggaran yang dimiliki.
Alih-alih menunda penerapan pajak hiburan, Aurel meminta pemerintah untuk membatalkan regulasi tersebut. Sebab, jika pajak hiburan naik menjadi 40%, bukan hanya pelaku usaha yang terdampak tapi juga konsumen lantaran harus membayar lebih.
“Jika memang ditunda seharusnya ada kejelasan juga sampai kapan penundaan ini,” tegasnya.
Dias (26) mengaku belum begitu paham ihwal implementasi pajak hiburan ini. Namun, jika aturan ini berimbas pada harga dari jasa yang ditawarkan, tentu dia merasa keberatan.
Meski tak selalu mencari hiburan di tempat karaoke, Dias memilih untuk beralih ke tempat hiburan yang lebih murah. “Harusnya banyak banget ya tempat hiburan di Jakarta yang lebih terjangkau dari sisi harga dan tentu lebih seru dari tempat-tempat itu,” jelasnya.
Komentar berbeda datang dari Cicilia (37). Dia mengaku tak begitu peduli dengan kenaikan pajak hiburan 40%-75%. “Soalnya karaoke kan enggak tiap hari,” ungkapnya.
Awal tahun ini, pajak hiburan santer diperbincangkan usai pemerintah melalui Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenakan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan untuk penjualan atau konsumsi barang dan jasa tertentu seperti makanan dan minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan.
Merujuk pada pasal 58 ayat 1, tarif PBJT ditetapkan maksimal 10%. Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah menetapkan tarif pajak minimal 40% dan maksimal 75%.
Kenaikan pajak hiburan mendapat sorotan dari sejumlah pesohor Tanah Air. Melalui Instagram pribadinya @hotmanparisofficial, Hotman mengunggah surat edaran, dengan melingkari poin jasa kesenian dan hiburan yang dikenakan pajak sebesar 40%.
Pemilik salah satu tempat hiburan malam itu dibuat kaget dengan adanya surat edaran tersebut. Menurutnya, pajak yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi dan mengancam kelangsungan industri pariwisata di Indonesia.
“Apa ini benar!? Pajak 40%? Mulai berlaku Januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakk,” tulis Hotman pada 6 Januari 2024.
Pedangdut sekaligus pemilik tempat karaoke Inul Vizta, Inul Daratista juga mengeluhkan hal serupa. Pasalnya, pajak yang dikenakan saat ini yakni 25% saja sudah membuat tempat usahanya menjadi sepi dan memicu komplain dari para pengunjung. Kondisi sepi tersebut dia bagikan melalui platform media sosial Instagram dan X.com.
Tak hanya memicu komplain dari para pengunjung, Inul juga khawatir naiknya pajak hiburan juga memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran pelaku usaha tak sanggup membayar gaji karyawannya akibat besarnya beban biaya yang ditanggung.
“Pajak 25% aja banyak tamu yang komplain, gimana nanti kalau pajak naik 70%, kita pasti lebih banyak komplain lagi,” ujar salah satu pegawai Inul.
Lantaran mendapatkan penolakan, pemerintah kemudian memutuskan untuk menunda penerapan pajak hiburan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap UU No.1/2022 sembari menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi kita mau tunda dulu saja pelaksanaannya itu satu karena itu, dari Komisi XI DPR RI kan itu sebenarnya, jadi bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu,” kata Luhut dalam unggahan Instagramnya, Rabu (17/1/2024).