Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha menganggap kontraksi arus investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) di kawasan Asean pada 2023 merupakan fenomena yang wajar.
Data UNCTAD yang dirilis pada akhir pekan lalu mencatat realisasi investasi asing langsung di Asean turun sebesar 16% menjadi US$192 miliar atau terendah setidaknya dalam 3 tahun terakhir.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyebut, ada sejumlah faktor yang menyebabkan fenomena kontraksi FDI di kawasan. Pertama, menurutnya, 2023 merupakan tahun yang sulit terutama bagi negara-negara maju penyumbang FDI global.
Adanya ketegangan geopolitik yang tinggi, perlambatan pertumbuhan ekonomi global, pengetatan moneter, suku bunga tinggi, hingga kontraksi pertumbuhan ekonomi di negara maju menjadi hambatan bagi pertumbuhan FDI.
"Karenanya FDI global di 2023 hanya tumbuh 3% dibandingkan 2022. Ini bisa dikatakan tingkat pertumbuhan yang stagnan," ujar Shinta saat dihubungi, Senin (22/1/2024).
Kedua, di tengah ketidakpastian ekonomi sepanjang 2023, lanjut Shinta, investasi global justru lebih tertarik ke negara-negara dengan rating tingkat kepercayaan investasi yang tinggi. Sementara itu, arus FDI ke negara berkembang menjadi lebih sulit karena persepsi risiko investasinya jauh lebih tinggi.
Baca Juga
"Arus FDI cenderung hanya mengalir ke negara-negara dengan rating investasi yang tinggi karena tingkat persepsi risiko investasinya paling rendah," bebernya.
Lebih lanjut, Shinta menyebut, meskipun kontraksi realisasi FDI sebesar 16% pada 2023 terjadi secara regional di kawasan Asean, kontraksi FDI Indonesia pada 2023 tidak sebesar itu. Sebaliknya, kata Shinta, pertumbuhan FDI di Indonesia menjadi yang paling stabil dan tangguh di kawasan.
Oleh karena itu, Shinta memandang bahwa reformasi kebijakan struktural terhadap iklim usaha dan investasi perlu dilanjutkan secara konsisten untuk meningkatkan kemudahan, efisiensi, dan daya saing investasi Indonesia. Pemerintah perlu menjaga stabilitas parameter makro ekonomi di samping sosial politik secara umum di tengah masa transisi kepemimpinan.
"Indonesia harus menciptakan iklim usaha yang memiliki tingkat predictability tinggi agar terdapat level trust, confidence dan tingkat persepsi risiko investasi yang lebih favourable di mata calon investor asing," tuturnya.