Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menantikan persetujuan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2021 tentang pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada awal tahun ini.
Proses harmonisasi revisi beleid itu telah selesai setelah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melunak soal potensi beban subsidi atau dampak terhadap keuangan PT PLN (Persero) akibat pelonggaran pemasangan PLTS atap bagi masyarakat luas.
“Kelihatannya dari Kemenkeu sudah bisa menerima,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman P. Hutajulu saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Jisman berharap persetujuan perubahan sejumlah pasal dalam Permen PLTS itu dapat meningkatkan investasi dan kapasitas terpasang PLTS atap nantinya.
Kendati demikian, dia mengakui aspek beban subsidi listrik turut menjadi sorotan dalam perbaikan beleid tersebut.
“Memang ada pertanyaan seberapa beban pemerintah kalau Permen ini diimplementasikan, kita sudah rapat dengan Kemenkeu kita sudah sampaikan bagaimana kalau PLTS atap ini diterapkan bagaimana EBT [energi baru terbarukan] itu nanti bisa berkembang,” tuturnya.
Baca Juga
Revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum diharapkan dapat menjadi jalan tengah antara kepentingan PLN dengan industri dan masyarakat yang berinisiatif untuk meningkatkan pemasangan panel surya mendatang.
Sebelumnya, Kementerian ESDM berencana melepas batasan kapasitas PLTS terpasang di tengah masyarakat untuk mengakselerasi percepatan investasi di sektor pembangkit tersebut. Sebagai gantinya, formula batas atas kapasitas terpasang bakal digantikan dengan skema kuota pengembangan.
Ketentuan lain yang ingin didorong berkaitan dengan skema ekspor listrik yang dimaksudkan sebagai pengurang tagihan listrik konsumen yang memasang PLTS atap. Lewat revisi itu, pemerintah bersama dengan PLN sepakat untuk meniadakan skema tersebut.
Manuver itu disebutkan untuk menjaga beban keuangan perusahaan setrum pelat merah itu di tengah kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang makin melebar saat ini.
Selain itu, biaya kapasitas yang semula diberlakukan untuk pelanggan golongan industri ikut ditiadakan.
Sebelumnya, Chief Commercial Officer SUN Energy Dion Jefferson mengatakan, saat ini pelaku industri panel surya belum memiliki kepastian aturan main yang jelas ihwal aturan investasi serta pengembangan panel surya di dalam negeri lantaran revisi beleid yang berlarut-larut.
“Segera memfinalisasi revisi Permen 26/2021 dan diimplementasikan saja. Supaya pelaku industri dan pelanggan mendapat kepastian aturan main PLTS di Indonesia,” kata Dion saat dihubungi, Minggu (12/11/2023).
Di sisi lain, Dion menambahkan, PLN perlu mempercepat proses lelang proyek-proyek transisi energi seperti Hijaunesia 2023 dan program dedieselisasi yang belum juga selesai hingga saat ini.
Seperti diketahui, kapasitas terpasang panel surya di Indonesia hingga akhir 2022 baru berada di level 0,3 gigawatt (GW).
Kapasitas setrum panel surya itu terpaut jauh dari torehan Thailand dan Vietnam, masing-masing mencatatkan kapasitas 3,1 GW dan 18,5 GW.
Indonesia juga masih tertinggal dari Malaysia, Filipina dan Kamboja yang masing-masing mencatatkan kapasitas terpasang 1,9 GW, 1,6 GW dan 0,5 GW per 2022 lalu.
Lewat RUPTL yang berakhir 2030, PLN menargetkan realisasi terpasang panel surya dapat menyentuh di angka 5 GW nantinya.
Konsultan manajemen multinasional McKinsey and Company memproyeksikan PLN mesti memasukkan sekitar 0,7 GW listrik dari panel surya ke dalam sistem setiap tahunnya untuk mencapai target penyediaan listrik tersebut.