Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berencana mendorong wisata belanja di Indonesia agar bisa bersaing dengan Singapura dan Thailand.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui bahwa untuk pengembangan sektor ritel, Indonesia perlu belajar dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Singapura dan Thailand. Kedua negara tetangga tersebut dianggap berhasil menggunakan wisata belanja untuk mendongkrak kedatangan wisatawan mancanegara.
Sementara wisata di Indonesia, kata Airlangga, cenderung masih mengandalkan basis kekayaan alam atau objek alam.
"Wisata belanja kita belum didorong. Oleh karena itu, tugas dari Hippindo untuk menaikkan wisata belanja, wisata kuliner agar setara dengan berbagai negara lain," ujar Airlangga pada Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) secara virtual, dikutip Rabu (17/1/2024).
Airlangga mengeklaim pemerintah terus berupaya untuk menyempurnakan regulasi agar bisnis ritel bisa mudah untuk bertumbuh. Mulai dari kemudahan perizinan hingga kemudahan dalam kegiatan impor. Menurutnya, ritel juga punya peran penting dalam hilirisasi produk-produk nasional dan pertumbuhan ekonomi.
"Terkait dengan perizinan berusaha, tentu kita akan terus memudahkan untuk implementasi pembukaan-pembukaan ritel," kata Airlangga.
Baca Juga
Sementara itu, Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah membeberkan bahwa pemerintah belum memberikan dukungan maksimal untuk bisnis ritel berkembang. Sebagai contoh, dia menyebut, untuk mendirikan satu gerai supermarket atau pusat perbelanjaan (mal) memerlukan lebih dari 50 perizinan.
Menurutnya, terlalu banyaknya perizinan itu mengakibatkan proses ekspansi menjadi lambat. Dia pun membandingkan dengan ekspansi mal dan gerai ritel di negara seperti Vietnam dan Kamboja.
"Sebuah mal ternama yang dalam 8 tahun melakukan ekspansi ke negara Asean, terbukti hanya bisa mendirikan 5 mal saja di Indonesia, tertinggal jauh dibandingkan di Vietnam yang berhasil mendirikan 30 mal, dan di Kamboja sebanyak 10 mal,” kata Budihardjo.
Regulasi yang berbelit itu, kata Budihardjo, telah membuat banyak investasi kabur dari Indonesia dan lebih memilih Vietnam. Penerapan kebijakan pengetatan impor juga dianggap jadi biang kerok terhambatnya pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia. Terutama pengetatan pada impor barang branded yang berdampak pada sektor-sektor tertentu.
Kebijakan itu telah mengakibatkan banyak toko yang menjual barang branded mulai kehabisan stok. Misalnya saja, Budihardjo menyebut bahwa sebuah toko elektronik di Indonesia kini hanya memiliki 60% stock keeping unit (SKU) dari jumlah SKU di Singapura dan Malaysia. Kondisi itu menyebabkan harga barang branded di Indonesia lebih mahal 40% dibandingkan di Singapura dan Malaysia.
"Apabila hal ini terus berlangsung dan tidak ada solusi dari pemerintah, maka asosiasi ritel dan ekosistemnya yang menaungi lebih dari 10 juta karyawan ini akan terus bertumbangan," bebernya.