Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pembiayaan Sektor Manufaktur Melorot, Pelaku Industri Tengah Cemas

Menurunnya permintaan global dan domestik membuat ekspansi sektor manufaktur terganjal hingga pembiayaan korporasi lesu.
Suasana di salah satu pabrik perakitan motor di Jakarta, Rabu (1/8/2018). Bisnis/Abdullah Azzam
Suasana di salah satu pabrik perakitan motor di Jakarta, Rabu (1/8/2018). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap industri manufaktur masih bergantung erat dengan pembiayaan dalam negeri untuk melakukan ekspansi. Pembiayaan itu kini tercatat menurun, seiring ketidakpastian global serta transisi kepemimpinan politik di Tanah Air.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan sebanyak 95% pelaku usaha manufaktur bergantung pada sumber pendanaan dalam negeri. Sementara, pendanaan melalui utang luar negeri tidak begitu diandalkan. 

"Yang lebih penting bagi pelaku usaha adalah akses pembiayaan, ragam instrumen pembiayaan usaha dan affordability beban pembiayaan di dalam negeri, termasuk untuk sektor manufaktur," kata Shinta kepada Bisnis, Selasa (16/1/2024). 

Namun, merujuk pada Survei Permintaan dan Penawaran Pembiayaan Perbankan yang dirilis BI, pada November 2023 terjadi penyusutan kebutuhan pembiayaan korporasi. 

Hal itu tecermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi yang turun yakni dari 15,7% menjadi 14,9% pada November 2023. Pembiayaan industri pengolahan pun merosot dari 3,1% menjadi 1,8%.

Adapun, 2 faktor yang melandasi hal itu adalah penurunan kegiatan operasional karena lemahnya permintaan domestik dan pasar ekspor.

Artinya, selain pembiayaan, terdapat faktor lain yang dapat mendorong ekspansi manufaktur seperti faktor pertumbuhan permintaan pasar dan persepsi kepastian terhadap iklim usaha atau investasi di sektor manufaktur. 

"Karena industri manufaktur perlu ekosistem kebijakan yang stabil dan konsisten mendukung pemenuhan kebutuhan produksi, termasuk kebutuhan kelancaran supply chain impor dan ekspor," tuturnya. 

Dalam hal ini, dia tak menampik munculnya persepsi ketidakpastian di kalangan pelaku usaha sektor riil terhadap iklim usaha Indonesia. Hal ini didorong transisi kepemimpinan dalam waktu dekat.

"Sehingga kecenderungan wait and see untuk ekspansi usaha menjadi lebih tinggi," imbuhnya. 

Lebih lanjut, dia menuturkan, jika relaksasi terjadi dari sisi pendanaan berupa penurunan suku bunga, penambahan instrumen pembiayaan usaha atau insentif perbankan, tak berarti ekspansi usaha akan moncer. 

"Sebab, persepsi uncertainty di pasar masih tinggi. Karena itu, kondisi-kondisi yang memengaruhi kondusivitas iklim usaha atau investasi di dalam negeri juga perlu diperhatikan," pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper