Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mandatory Spending Dihapus, Anies Ingin Anggaran Kesehatan 5% dari PDB

Capres Anies Baswedan berjanji mengalokasikan anggaran kesehatan lebih besar yaitu mencapai 5% dari PDB jika terpilih dalam Pemilu 2024.
Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyampaikan visi dan misi saat Debat Pertama Capres 2024 di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyampaikan visi dan misi saat Debat Pertama Capres 2024 di Jakarta, Selasa (12/12/2023).

Bisnis.com, JAKARTA - Tim Nasional (Timnas) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menyebut akan mendorong anggaran yang lebih besar untuk kesehatan usai dihapuskannya mandatory spending atau dana wajib kesehatan dalan Undang-undang Kesehatan. 

Dewan Pakar Timnas Amin, Ganis Irawan, menyampaikan, anggaran kesehatan akan didorong mengikuti acuan dunia sebesar 5% dari produk domestik bruto (PDB) atau lebih besar.

“Tadi sudah saya sampaikan bukan 5% dari APBN tapi GDP. Mari kita patok di situ, angkanya GDP, akan kita dorong lebih besar,” kata Ganis Irawan dalam Dialog Nasional Pembangunan Kesehatan Indonesia di Hotel Bidakara, Selasa (16/1/2024).

Dewan Pakar Timnas Amin, Fasli Jalal, menambahkan, kebutuhan anggaran kesehatan akan diperjuangkan bersama-sama dengan sektor terkait. Selain itu, pihaknya juga berencana mensinergikan anggaran pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota untuk memperbesar anggaran kesehatan.

“Jadi bukan tidak mungkin keempat lini ini disinergikan. Mungkin bisa melebihi mandatory spending yang 5% pusat 10% daerah,” ujarnya. 

Sebagaimana diketahui, mandatory spending resmi dihilangkan dari UU Kesehatan pada Juli 2023. Dalam aturan terbaru, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memprioritaskan anggaran kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan APBN dan APBD. Hal ini tertuang dalam pasal 409 ayat 1 UU Kesehatan.

Adapun, pengalokasian anggaran juga termasuk memerhatikan penyelesaian permasalahan kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi.

Selain itu, pemerintah pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada pemerintah daerah, sesuai dengan capaian kinerja program dan pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Mohammad Adib Khumaidi, sebelumnya sempat khawatir dengan hilangnya mandatory spending dari UU Kesehatan. Menurutnya, hilangnya mandatory spending akan mengarah pada konsep privatisasi di sektor kesehatan, mengingat kebutuhan kepentingan kesehatan yang kian besar dan pembiayaan kesehatan yang tergolong tinggi. 

“Hilangnya mandatory spending, hilangnya komitmen pemerintah pusat terkait dengan pembiayaan pendanaan kesehatan dan kemudian membuka peluang karena kebutuhan kepentingan kesehatan kita itu semakin besar,” ujar Adib kepada awak media di depan Gedung DPR/MPR, Selasa (11/7/2023).

Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan penghapusan mandatory spending tidak ada kaitannya dengan skema pembiayaan BPJS Kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta JKN.

Mandatory spending dimaksudkan untuk APBN dan APBD yang harus disediakan oleh pemerintah untuk anggaran kesehatan. Dengan dihapuskannya mandatory spending bukan berarti anggaran itu tidak ada. Namun anggaran tersusun dengan rapi berdasarkan perencanaan yang jelas yang tertuang dalam rencana induk kesehatan.

Anggaran akan lebih efektif dan efisiesn karena berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan kita capai, karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi-tingginya. Jadi semua tepat sasaran, tidak buang-buang anggaran.

“Kalau mandatory spending itu terkait dengan belanja yang wajib untuk membiayai program-program kesehatan seperti pencapaian target stunting, menurunkan AKI, AKB, mengeliminasi kusta, eliminasi TBC, dan juga penyiapan sarana prasarana,” ujar Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. M Syahril seperti dilansir dari laman resmi Kemenkes 9 Agustus 2023.

Dia menjelaskan, terkait upaya pendanaan kesehatan perseorangan dalam program jaminan kesehatan yang dikelola BPJS tidak terkait dengan mandatory spending dalam UU kesehatan. Oleh karena itu, tidak ada perubahan pengaturan terkait BPJS Kesehatan.

Berbeda dengan skema pembiayaan dalam BPJS Kesehatan yang menggunakan sistem asuransi sosial di mana uang yang dikelola merupakan iuran dari para peserta BPJS Kesehatan.

Bagi yang mampu akan membayar iurannya sendiri, bagi pekerja penerima upah (pekerja formal) maka iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja (mengiur 1 persen) dan pemberi kerja (mengiur 4 persen). Sementara masyarakat yang tidak mampu akan dibayarkan pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper